Tampilkan postingan dengan label Wawasan Umum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wawasan Umum. Tampilkan semua postingan

Pemimpin dan Prinsip Keadilan

6/06/2018 Add Comment

Oleh Dendy Dwirizki Gunawan, drg.
Ketua Umum Demisioner HMI Koms FKG USU Periode 2013-2014

bolokajiblog- "Dan hal ini karena ketidakadilan menciptakan pengelompokan, dan berbagai kebencian serta perkelahian, sebaliknya, keadilan menciptakan keharmonisan dan persahabatan." Begitu kurang lebih kalimat Thrasymachus kepada Socrates ketika mereka berdialog tentang keadilan di buku Plato, Republik. Kemudian di buku lain yang mengkaji tentang buku ini (Republik) sendiri menjabarkan, "bahkan menurut Plato, dalam setiap kelompok apapun (negara,organisasi, angkatan bersenjata, dll) harus terdapat prinsip-prinsip keadilan, bahkan di dalam kelompok/segerombolan perampok."

Semula, saya bingung dengan maksud dari kalimat ini, prinsip keadilan yang bagaimana pula yang ada dalam kelompok perampok yang notabene adalah kumpulan orang - orang jahat? Lembar demi lembar buku itu saya baca hingga akhirnya saya mendapat petunjuk.
Melalui hal teknis yang dijabarkan buku itu saya akhirnya mengerti apa korelasi kelompok perampok dengan prinsip keadilan. Tertulis seperti ini, " Ketika gerombolan perampok selesai melakukan aktivitasnya sebagai perampok (re : merampok), maka sang pemimpin atau ketua harus membagikan hasil rampasan/rampokan secara merata terhadap anggota - anggotanya."
Kalimat ini tentunya memicu otak kita berpikir apa maksud dan tujuan dari yang dilakukan oleh pemimpin perampok itu? Apa tujuannya membagi hasil rampokan sama rata? Hanya tindakan formalitas kah? Atau ada tujuan tersirat di dalam tindakan itu? Jika kita mau berpikir dan menelaah sejenak, ada makna yang begitu mendalam dari tindakan itu (membagi hasil rampasan secara merata)
Ketika seorang pemimpin perampok membagi hasil rampasan/rampokan secara merata, maka secara tidak langsung ia sedang menerapkan prinsip keadilan. Apa tujuannya? Yaitu untuk menjaga keutuhan dan kesolidan barisannya. Ya, barisan perampok.
Lantas apa fungsinya menjaga kesolidan dan keutuhan ini? Pertama, jika hal ini tercapai, maka keharmonisan lah yang akan terwujud dalam kelompok/barisan itu. Keharmonisan adalah kunci dari kemajuan suatu kelompok atau kelancaran dari suatu kelompok dalam menjalankan aktivitasnya. Kedua, untuk mencegah terjadinya kecemburuan sosial di antara anggota - anggotanya sehingga akhirnya dapat menimbulkan perpecahan. Sebab jika ada anggota yang hanya mendapat 5 juta namun ada anggota lainnya yang mendapat 10 juta, tentu akan menimbulkan kecemburuan dan konflik di dalam kelompok mereka. Dalam konteks gerombolan perampok, tujuan jangka panjang pimpinan perampok bertindak seperti itu agar kegiatan - kegiatan merampok mereka (selanjutnya) berjalan dengan lancar sebab kelompoknya solid.
Anggaplah kelompok lainnya yang sedang kita bahas ini adalah suatu negara. Tentunya kita bisa mengambil analogi yang sama dalam hal prinsip keadilan ini. Pemimpin yang dapat berlaku adil, akan menghasilkan rakyat yang solid. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mampu berlaku adil akan menjadi hulu dari permasalahan - permasalahan hilir seperti pengelompokan, sekat - sekat, kebencian, dan perkelahian seperti kata Thrasymachus dalam kehidupan berwarganegara.
Jika ada negara yang sedang mengalami permasalahan seperti ini (sekat-sekat, pengelompokan, perkelahian), bisa jadi faktor utamanya adalah pemimpin yang tidak mampu berlaku adil tersebut. Lantas apa pula indikator keadilan seorang pemimpin di zaman ini? Tentunya kita tak bisa mengambil mentah - mentah analogi kelompok perampok tadi. Jika kita mengukur keadilan hanya dari "hasil rampasan" atau uang seperti di dalam gerombolan perampok, maka kita terjebak di dalam paham materialisme. Di teori organisasi modern, "hasil rampasan" tadi dapat kita konversikan menjadi perhatian, sikap, perlakuan, dan hal lainnya yang diberikan pemimpin kepada seluruh anggotanya. Dalam konteks bernegara/berorganisasi, yaitu perhatian, sikap, dan perlakuan yang diberikan kepala negara kepada seluruh rakyatnya. Pemimpin harus memberi perhatian, sikap dan perlakuan yang merata agar prinsip keadilan ini tercapai. Jika tidak, maka barisan/rakyat akan pecah.
Apa contoh mudahnya? Jika pemimpin memperlakukan dua orang yang melakukan perbuatan kriminal dengan jenis yang sama tapi dengan perlakuan/hukuman yang berbeda, di saat itulah prinsip keadilan abstain. Atau, ketika pemimpin tidak memberikan perhatian yang sama/merata kepada rakyatnya, kelompok yang mendukungnya diberi perhatian berlebih, sementara kelompok yang tidak mendukungnya tidak diberi perhatian sama sekali bahkan hingga mereka kelaparan, maka di saat itulah ketimpangan terjadi.
Lantas apa efek jangka panjang dari abstainnya keadilan dan terjadinya ketimpangan ini? Tentunya yang pertama kali terjadi adalah kecemburuan sosial di tataran akar rumput, kemudian berefek pada ketidakharmonisan berwarganegara sehingga pada akhirnya, bermuara kepada perpecahan, sekat-sekat dan pengkotak-kotakan.
Apakah ada lagi efek selanjutnya? Ada. Permasalahan - permasalahan itu, yang kita kenal sebagai konflik horizontal, akan mengganggu berjalannya roda pemerintahan / kenegaraan sebab perpecahan dan perkelahian yang tak kunjung usai.
Tentunya tulisan ini juga bisa menjadi autokritik bagi kita, terutama yang sedang menjadi pemimpin dan akan menjadi pemimpin di tingkatan manapun. Berlaku adil-lah terhadap anggota/bawahan/rakyatmu. Sebab ketidakadilan akan memicu perpecahan yang pada akhirnya akan menyulitkanmu sendiri. Seperti bumerang yang kita lempar dan akan mengenai kita sendiri jika kita tak mahir dalam "memainkannya".
Terlebih, jika kita tak mampu bertindak adil sebagai seorang pemimpin, sejatinya "level" kita jauh lebih rendah dari pimpinan perampok yang lebih mampu berlaku adil. Beri perhatian, sikap, dan perlakuan yang sama/merata kepada semua, niscaya, perpecahan takkan melanda kita. Sebab keadilan akan membawa keharmonisan dan persahabatan, seperti kata Thrasymacus di awal tulisan. 

Foto diambil dari https://www.hetanews.com 

Status Quo Kaderisasi Menuju Regenerasi

5/14/2018 Add Comment

bolokajiblog- Sajian bakwan sayur sembari menyeruput kopi hitam menjadi teman menulis prosa pada kesempatan kali ini. Tentu ada alasan tersendiri kenapa judul tersebut dikemukakan.
Kaderisasi menurut KBBI berawal dari kata kader dengan arti yaitu orang yang diharapkan akan memegang peranan penting dalam sebuah organisasi. Dapat disimpulkan kaderisasi adalah suatu proses dalam membentuk kader-kader baru dalam sebuah organisasi tersebut. "Saya persiapkan generasi muda Turki untuk menjadi ujung tombak Turki 2023. Suatu hari nanti, anak muda Turki berusia 18-25 tahun akan mengisi parlemen, kementerian, BUMN dan jabatan strategis lainnya". Begitu salah satu petikan optimisme Recep Tayyip Erdogan dalam menyongsong Turki Baru 2023 yang nantinya bertepatan dengan momen 100 tahun berdirinya Republik Turki.
Pesan moral dari cerita diatas bahwa sekelas Presiden Turki saja begitu percaya dan menaruh harapan besar terhadap generasi muda. Kenapa kita disini tidak bisa turut seirama dan senafas dengan visi Beliau yang memuliakan kader-kader muda?. Bukan malah mengkerdilkan eksistensi generasi muda. Padahal idealnya organisasi yang baik itu harus memiliki sistem untuk menjalankan roda kaderisasi/regenerasi secara reguler. Kaderisasi harus dilakukan secara proaktif, bukan reaktif. Kalau ada generasi muda, tentu ada juga generasi tua (senior). Perdebatan dikotomi antara tua dan muda itu tetap menjadi diskursus yang hangat dan renyah sampai hari ini.
Diorganisasi manapun pastinya tidak mau terjebak pada candu kultus individual karena esensi dari berorganisasi sejatinya harus bergerak mengikuti landasan sistem, bukan bergantung kepada sosok orang perorang. "Tidak ada orang yang tidak tergantikan", menurut Jack Welch, mantan CEO General Electric selama 20 tahun lamanya. Lantas sampai kapan generasi tua terus membangun asumsi dangkal bahwa generasi muda saat ini tidak punya kapasitas?. Jika ada yang berasumsi seperti itu, maka jelaslah mereka generasi kolot yang enggan untuk menarik gerbong muda. Ada sebuah kutipan dari Tom Peters yang mengatakan, "Leaders don't create followers, they create more leaders". Generasi tua yang memimpin hari ini seharusnya memberi panggung aksi dan menyerahkan tongkat estafet bagi generasi muda yang dinilai cakap dan mumpuni. Bukan malah terserang penyakit paranoid kronis apabila ada generasi muda yang tumbuh dan jauh lebih baik dalam hal kepemimpinan.
Singkirkan sumbatan regenerasi. Disparitas antara generasi tua dan muda dalam hal kemampuan, pengalaman dll harus dipersempit jurang perbedaannya. Salah satu cara yang efektif dengan melalui pola pendekatan Pembangunan Manusia, dimana muatan soft skills dan hard skills dalam kelas pelatihan diberikan secara simultan untuk melatih kemampuan berfikir kritis positif dalam berbagai hal. Dan pastinya generasi tua juga harus legowo dengan menerima realitas tersebut.
Mengapa perlu regenerasi?. Jawabku, karena setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, hal itu sebuah keniscayaan yang sifatnya alamiah. Bisa jadi karena alasan telah memasuki usia yang beranjak tua, bisa karena adanya ketetapan periodesasi dalam memimpin dan kadang kerap juga karena adanya desakan untuk mundur atau diganti. Bahkan bisa juga karena alasan kematian.
Kapan waktunya karpet merah dibentangkan bagi generasi muda saat ini?. Maka jawab mereka, nanti dulu dan bersabarlah. Juga sayangnya jika bertanya hal diatas maka Anda harus bersiap diri untuk dipinggirkan dan kemudian tidak menjadi apa-apa!.


Ditulis oleh drg. Muhammad Irvan Rizky Matondang
Foto diambil dari http://adymasalembow.blogspot.co.id


Kekuatan “Pengaruh” dalam Kepemimpinan

3/14/2018 Add Comment


bolokajiblog- Kepemimpinan dalam suatu konsepsi sangat erat kaitannya dengan pengaruh. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari setiap aktivitas yang akan dilaksanakan. Toha (1983) berpendapat bahwa “kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu” sedangkan menurut Robbins (2002) menyatakan bahwa: “Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan”. Purwanto (1991) menyatakan “Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk di dalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa”.
Ukuran kepemimpinan adalah kemampuan dalam mempengaruhi orang lain. Pertanyaannya adalah apa yang membuat orang lain mau “mengikuti” seorang pemimpin? Terkadang ada orang dengan mudahnya mau mengikuti dan ada yang susah untuk menjalankan arahan pemimpin tersebut. Jawabannya adalah terletak pada kualitas seorang pemimpin. Pemimpin yang punya kualitas tentunya dengan mudah mempengaruhi orang-orang yang ada disekitarnya.  Satu hal yang harus kita pahami bahwa kepemimpinan tidak identik dengan posisi namun identik dengan fungsi. Setiap orang memiliki peluang untuk mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain. Itu artinya bahwa kita bisa menjadi pemimpin dan menjadi orang yang dipimpin dalam hal tertentu. Mudah untuk melihat pada saat kapan kita menjadi seorang pemimpin atau orang yang punya pengaruh. Perhatikan saja ketika ada perkumpulan membahas suatu hal, jika dilontarkan sebuah isu dan pendapat siapa yang didengar orang banyak maka kita dapat mengenal siapa pemimpin yang punya pengaruh dalam kelompok tersebut.
Berbicara tentang kualitas seorang pemimpin, saya sudah pernah sedikit membahas tentang kriteria kepemimpinan yang ideal dalam tulisan saya “Menatap Pemilihan Raya FKG USU”. Jika saya diajukan pertanyaan bagaimana pemimpin yang ideal maka saya akan menjawab bahwa Nabi Muhammad adalah suri tauladan dalam hal apapun termasuk ketika menjadi seorang pemimpin. Tauladan Nabi Muhammad bukan hanya dari Islam sendiri bahkan diluar Islam juga mengakui kehebatan Nabi Muhammad. Dalam diri Nabi Muhammad terdapat beberapa kriteria yang harus kita contoh. Saya selalu menyampaikan kriteria ini ketika menyampaikan materi kepemimpinan pada saat latihan kader di himpunan yaitu STAF. STAF adalah singkatan dari Siddiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah.
Siddiq artinya benar. Benar disini bukan hanya sekedar benar dalam perkataan namun juga benar dalam perbuatan. Seorang pemimpin jika tidak sinkron antara perkataan dan perbuatan yang dilakukan maka akan menurunkan kepercayaan terhadap orang-orang disekitarnya. Tabligh artinya menyampaikan. Seorang pemimpin  dituntut untuk komunikatif agar mampu memberikan arahan kepada orang disekitarnya. Ada sebuah pepatah didalam buku Jhon C. Maxwell “The Maxwell Daily Reader” bahwa penyebab jatuh bangunnya segala sesuatu adalah kepemimpinan dan penyebab jatuh bangunnya kepemimpinan adalah komunikasi. Amanah artinya benar-benar dipercaya. Jika segala urusan diberikan kepadanya maka urusan tersebut akan dilaksanakan sebaik mungkin. Kriteria terkahir adalah Fathonah yang berarti cerdas. Cerdas dalam suatu kepemimpinan itu artinya cukup luas. Bisa kecerdasan dalam IQ, EQ, dan SQ. Tugas seorang pemimpin adalah mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Artinya seorang pemimpin harus bisa memetakan arah. Dalam konsep palayaran setiap orang bisa mengemudikan kapal namun tidak semua orang bisa memetakan arah. Jika pemimpin tak bisa menentukan arah maka alamatlah sebuah kapal akan tenggelam. Kecerdasan seorang pemimpin tidak cukup hanya sebatas konseptual, pemimpin juga harus cerdas dalam hal emosioanal. Sebagai contoh seorang pemimpin harus bisa menjalin hubungan dan menjadikan bawahannya sebagai sahabat. Banyak kegagalan dalam memimpin dikarenakan kesalahan tidak menjalin suatu hubungan dengan baik. Abraham Lincoln pernah berkata ”Jika anda ingin memenangi seseorang bersedia membantu Anda, pertama-tama yakinkan dirinya bahwa Anda adalah sahabat yang tulus.” Hubungan yang baik mengupayakan proses mempengaruhi menjadi mungkin dan persahabatan merupakan hubungan positif dan menjadi kerangka kerja menuju sukses dalam mencapai suatu tujuan. Bagaimana mungkin anda bisa mempengaruhi orang disekitar anda jika tidak ada sedikitpun kedekatan emosional yang terbentuk antara anda dan orang disekitar anda. Senior saya sering berkata kepada saya bahwa kepemimpinan itu adalah adalah seni, seni bagaimana mempengaruhi orang lain. Ada sebuah peribahasa mengatakan “Seseorang yang mengatakan dirinya sebagai pemimpin namun tidak memiliki pengikut sesungguhnya bukanlah pemimpin namun ia hanya sedang berjalan-jalan.”

Penulis MY

Medan 14 Maret 2018
Gambar diambil hitssss.com




Mengembalikan Marwah Nelayan yang Hilang

3/05/2018 Add Comment
bolokajiblog- Jauh dipelosok provinsi RIAU, ada sebuah desa dikenal dengan sebutan kota terapung oleh masyarakat disekitarnya. Nama desa terebut adalah Panipahan. Panipahan merupakan desa yang berada di kecamatan Pasir Limau Kapas kabupaten Rokan Hilir Provinsi RIAU. Sejarah pernah mencatat bahwa Rokan Hilir pernah meraih peringkat kedua penghasil ikan terbaik di dunia setelah Norwegia. Pencapaian Rokan Hilir yang istimewa dikarenakan beberapa desanya memiliki laut dengan syurga ikan yang luar biasa. Salah tiga desa yang meyumbangkan hasil laut yang luar biasa adalah Panipahan, Sinaboi, dan Pulau Halang. Dari ketiga desa tersebut Panipahanlah yang paling besar dalam menghasilkan hasil laut.
Panipahan secara geografis di sebelah timur berbatasan langsung dengan Perairan Selat Malaka sedangkan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Labuhan Batu, Provinsi Sumatera Utara. Letak geografis Panipahan sangat strategis untuk sektor perekonomian. Panipahan dapat ditempuh dengan transportasi laut dari Tanjung Balai sekitar 3 jam dan dari Bagain siapi-api sekitar 1 jam. Panipahan juga dapat ditempuh melalui transportasi darat dengan menggunakan bus dari Medan selama 12 jam. Panipahan dengan letaknya yang strategis  banyak menarik minat para etnis untuk mencari mata pencaharian. Bahkan etnis tionghoa berdatangan untuk menikmati hasil laut panipahan  sebelum indonesia  merdeka hingga detik ini. Mereka yang memiliki modal (Toke) mendirikan Tempat Pelelangan Ikan atau biasa disebut dengan Gudang Ikan.  
Seiring berjalannya waktu, sumber daya sektor perikanan di Panipahan semakin hari semakin habis tanpa adanya budidaya sektor perikanan. Masyarakat Panipahan hanya pandai mengambil tanpa memikirkan kelangsungan perikanan dimasa yang akan datang. Ketiadaan modal hanya mampu membuat masyaraat menjadi penangkap ikan kemudian dijual kepara toke-toke. Menurut Dinas Perikanan setempat, ekspor perikanan yang murni dari panipahan sekarang mulai burkurang  bahkan untuk mengisi stok ekspor pun harus mencari tambahan dari Tanjung Balai. Belum lagi masyarakat yang berprofesi sebagai Nelayan terkadang dirugikan dengan permainan oknum oknum nakal yang memainkan timbangan dan menekan harga hasil tangkapan. Miris terkadang melihat kondisi seperti ini. Masyarakat panipahan seperti terjajah dinegerinya sendiri. Sulitnya perekonomian tidak sedikit mengakibatkan masyarakat panipahan banyak yang merantau kekota lain bahkan sampai ke Negera Jiran. Hal itu dilakukan untuk membangkitkan perekenomian keluarga dengan harapan bisa mencukupi dan mengangkat martabat keluarga dari kesenjangan ekonomi.
Jika kita lihat kondisi diatas dimana letak kesalahannya? Apakah pemerintah melihat kondisi seperti ini? Sebenarnya ada harapan besar untuk para nelayan jika pemerintah setempat ambil peran dengan kondisi ini. Pemerintah harus tegas terhadap oknum-oknum nakal dan selalu melakukan evaluasi berkala agar permainan timbangan bisa dihindari. Jika perlu pemerintah setempat harus mendirikan Tempat Pelalangan Ikan sendiri agar hasil tangkapan masyarakat bisa terakomodir.
Apabila pemerintahan bisa membuat kebijakan tentang perkara diatas alangkah banyaknya manfaatnya yang bisa dirasakan oleh kalangan masyarakat seperti pengurangan jumlah pengangguran, nelayan tidak dirugikan dengan timbangan dan penekanan harga ikan. Disisi lain, pemerintah juga akan mendapatkan manfaat dengan bertambahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kiranya ini menjadi suatu impian yang sangat di impikan masyarakat panipahan tentunya. Apabila perkara ini didengar dan realisasikan alangkah sejahteranya masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.

Penulis : Kamandani
Sumber foto : bagansiapiapi.net



Islam dan Ilmu Pengetahuan

2/22/2018 Add Comment
bolokaji- Islam merupakan ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT sebagai ajaran yang haq lagi sempurna untuk mengatur umat manusia dalam berkehidupan. Ajaran Islam menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar. 
Orang yang beragama Islam disebut seorang Muslim. Bagi seorang Muslim, iman adalah bagian paling mendasar dari kesadaran keagamaannya. Iman sering diperbincangkan dalam pertemuaan keagaaman dan sering menjadi pertanyaan “Sudahkah kita beriman?” “Sebesar apa keimanan kita?” dalam berbagai makna dan tafsirannya, sebagai rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Iman sangat erat kaitannya dengan amal. Ketika muslim beriman pasti akan mengerjakan amalannya sebaik mungkin. Iman dan amal membentuk pola segitiga dengan ilmu yang melengkapi peran umat manusia yang kukuh dan benar di mukabumi. Seolah menengahi antara iman dan amal itu dari suatu segi sebagaimana ibadah juga menengahi antara keduanya dari segi yang lain.
Posisi ilmu menjadi bagian penting dalam esensi ajaran islam. Hal ini juga banyak menimbulkan perdebatan antara iman yang didahulukan atau ilmu. Terlepas dari itu, iman dan ilmu menjadi dua unsur yang sangat erat dalam menjalankan amalan di dunia. Manusia sejatinya dalam menjalankan perannya di dunia cenderung kepada kebenaran (hanief) dan proses mencari kebenaran tersebut membutuhkan ilmu. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian ilmu pengetahuan dan objek pengetahuan.
Dalam konsep filsafat ilmu yang saya ketahui, pemakaian kata ilmu setidaknya ada tiga makna yang dikandungnya yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Ilmu secara umum diartikan dengan pengetahuan (knowledge). Namun pengetahuan yang dimaksud adalah kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (a systematic body of knowledge). Sering dinyatakan ilmu adalah pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method).
Mengutip dari buku Islam Mazhab HMI karya Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag "manusia harus menyadari dengan benar posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi dengan memanfaatkan dan memelihara alam untuk kepentingan seluruh makhluk. Tugas ini akan terlaksana dengan baik jika manusia memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi."
Umat Islam seharusnya menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, apalagi yang bersumber dari Islam sendiri. Islam menyediakan sumber ilmu pengetahuan melalui panduan firman Allah SWT yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang ilmiah banyak ilmuwan muslim yang mendapatkan inspirasi untuk melakukan penelitian-penelitian. Umat islam sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yang dibawa dari Yunani Kuno. Hal ini terlihat dari munculnya para filsuf muslim diantaranya ialah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (sekitar 257 H/870 M). Al-Kindi secara khusus dikenal sebagai filsuf bangsa Arab (faylasūf al-‘Arab). Dilain hal ada Al- Khawarizmi dari Khiva seorang yang ahli dalam ilmu matematika dan dipandang orang yang pertama kali menemukan teori al-Jabar. Kemudian ada Al- Biruni (973-1048) seorang ahli astronomi yang berhasil menentukan secara akurat garis lintang dan bujur. Beberapa ilmuwan muslim dari disiplin ilmu yang lain masih banyak dan tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Sejarah inilah yang menjadikan masa kejayaan umat islam dengan ilmu pengetahuannya, berbanding terbalik dengan bangsa eropa yang berada dalam kegelapan.
Pengetahuan modern merupakan tingkat-mutakhir perkembangan peradaban umat manusia secara keseluruhan karena berbagai hal, kebetulan dimulai oleh bangsa-bangsa dari kawasan Eropa Barat Laut. Ciri peradaban mutakhir itu ialah teknologi. Teknologi ini, pada gilirannya, ditopang oleh suatu sistem kognitif yang dilandasi oleh empirisisme. Inilah yang kita maksudkan dengan ilmu pengetahuan modern. Selain empirisisme yang amat menonjol, ilmu pengetahuan modern juga berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik karena sikapnya yang selalu memandang kedepan, sehingga ilmu pengetahuan menjadi tidak berhenti pada suatu tapal batas (frontier). Oleh karena itu, eksplorasi dan riset (research) merupakan bagian mutlak ilmu pengetahuan modern.
Dizaman sekarang atau istilah familiarnya “Zaman Now” yang merupakan era modern, perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh bangsa Eropa dan Amerika. Umat muslim seakan “Mengaminkan” bahwasannya ilmu pengetahuan modern berasal dari bangsa Barat. Sungguh sebuah realita yang menyedihkan karena Islam pernah menjadi “Guru” pada masa “Jahiliyyah” oleh bangsa barat namu pada saat ini Islam yang menjadi konsumen teknologi karya“Murid” nya.
Melihat kondisi ketertinggalan Islam, sebagai seseorang yang memegang predikat mahasiswa pastinya saya mendapat tekanan besar dengan kondisi ilmu pengetahuan saat ini. Mahasiswa muslim diharuskan mempunyai kemampuan kognitif tinggi, afektif baik dan cekatan dari segi psikomotorik sebagai modal diri dalam proses mencari kebenaran. Al-Qur’an yang menuangkan firman Allah SWT sebagai sumber ilmu pengetahuan alam semesta harus dapat diobservasi dan memformulasikannya untuk menjawab tantangan ilmu pengetahuan modern.
Akhir kata “Siapkah Anda Menjadi Salah Satu Ilmuwan Muslim Penantang Ilmu Pengetahuan Modern?”


Penulis :Rahmad Hanif, Ketua Umum HMI Komisariat FKG USU Periode 2016-2017

Foto diambil dari slideshare.net

Menakar Sifat Profetik Kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto

2/15/2018 Add Comment
bolokajiblog- Manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan pemimpin dimuka bumi (khalifah fil ardhi) dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata untuk kehadirat sang pencipta.. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pemimpin” mempunya arti yaitu orang yang memimpin. Dapat disimpulkan bahwasanya pemimpin mempunyai objek yang dipimpinnya setidak-tidaknya adalah memimpin dirinya sendiri. Dalam aktivitasnya, si pemimpin tentunya harus memiliki sifat “kepemimpinan” yang dapat mengarahkan apa yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan dan cita-cita bersama antara si pemimpin dan yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam KBBI juga mempunyai arti yaitu, perihal pimpinan; cara memimpin. Antara “pimpinan” dan “kepemimpinan” tentunya mempunyai korelasi yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik memimpin (leadership). Namun kedua hal tersebut sangatlah berbeda. Pimpinan dapat disetarakan dengan Ketua, Kepala, atau istilah pimpinan lainnya. Sedangkan “kepemimpinan” lebih mengarah kepada gaya, cara, atau seni yang harus dimiliki setiap pimpinan. Banyak cara, gaya, atau seni memimpin yang dilakukan oleh para pemimpin di dunia mulai dari otoriter sampai totaliter (melayani). Selain itu terdapat juga beberapa teori kepemimpinan. Menurut Robbins dalam Sus Budiharto dan Fathul Himan (2005: 136), teori kepemimpinan yang paling mutakhir antara lain berhubungan dengan demoralitas atau spiritualitas. Sumber moralitas atau spiritualitasnya bisa dari mana saja termasuk dari Islam.

Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam KBBI, profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal (Filsuf Muslim asal India abad ke-20). Iqbal mendeskripsikan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW ber Mi’raj, beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi SAW tidak hanya menikmati kebahagiaannya berjumpa dengan Allah SWT, dan melupakan masyarakatnya. Dengan demikian, pengertian profetik disini adalah melaksanakan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai dan pola kenabian. Dalam hal ini adalah kepemimpinan. Kepemimpinan profetik berarti gaya atau seni memimpin berdasarkan nilai-nilai dan pola kenabian. Kekuatan kepemimpinan profetik inilah yang penulis lihat dan cermati ada pada sosok Haji Oemar Said Tjoroaminoto. Dan hal ini pulalah yang coba penulis urai dalam tulisan ini.
HOS Tjoroaminoto merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir pada Rabu, 16 Agustus 1882 di Ponorogo. Dibawah kepemimpinan beliaulah organisasi Sarekat Islam berada pada masa kejayaan sekaligus mengantarkan beliau menjadi salah satu tokoh pergerakan kebangkitan nasional. Tak salah penulis menempatkan beliau menjadi salah satu tokoh idola baik didalam kehidupan berorganisasi, pergerakan, dan bersosial. Pola kekuatan kepemimpinan profetik yang beliau parktikkan tergambar melalui salah satu trilogi termasyhur yang pernah beliau ungkapkan dalam pidato beliau untuk membakar semangat juang anggota Sarekat Islam dalam melawan kolonialisme penjajah yaitu, “Semurni-murni Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, dan Sepintar-pintar Siasat”. Didalam triolgi tersebut penulis menafsirkan, bahwasanya dasar-dasar kepercayaan yang kuat dalam ketauhidan harus ditopang dengan keinginan mencari ilmu yang setinggi-tingginya sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW, “tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat” untuk mencapai solusi dan penyelesaian penjajahan dalam mencapai kemerdekaan. Semangat inilah yang menjadi gambaran apa yang harus dimiliki oleh setiap pejuang kebangkitan nasional khususnya Sarekat Islam dalam mencapai kemerdekaan atas penjajah. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan Sanerya Hendrawan (2009: 158), bahwa kekuatan kepemimpinan profetik ini, terletak pada kondisi spiritualitas pemimpinnya. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang yang telah selesai memimpin dirinya sehingga upaya mempengaruhi orang lain atau memimpin sesuai dengan keteladanan terhadap Rasulullah SAW. Selain itu, karya beliau buku Islam dan Sosialisme menurut tafsiran penulis beliau menjelaskan bahwasanya tidak ada yang salah dengan Karl Marx dan Engels tetapi mengapa beberapa diantara kita terjebak dengan sosialismenya Karl Marx dan Engels sedangkan Rasulullah SAW sudah mempraktikkan sosialisme jauh sebelum mereka. Didalam buku Islam dan Sosialisme Tjoroaminoto menuliskan, “adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu. Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada era kepemimpinan Nabi Muhammad, tidak terlepas dari prinsip-prinsip sosialisme yang diterpkan oleh Rasulullah dalam mengatur pemerintahan dan upaya memperluas wilayah, termassuk dengan menjadikan semua tanah yang dikuasai menjadi milik negara. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam telah melancarkan dirinya ke negri-negri luar” (Islam dan Sosialisme, 1963: 10). 
Lebih lanjut kepemimpinan profetik yang Tjokroaminoto wujudkan, berdasarkan buku Islam dan Sosialisme  beliau bagi menjadi tiga prinsip sosialisme yang menurut beliau merupakan kunci kejayaan pemerintahan Islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Yang pertama yaitu Kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang dapat menyatukan umat Islam itu. Dalam perspektif penulis, ketiga prinsip diatas dapat disimpulkan menjadi tujuan humanisasi (memanusiakan manusia) dan tujuan liberasi (pembebasan belenggu penjajahan) sesuai dengan pertentangan beliau yang menganggap bahwasanya kolonialisasi yang dipraktikkan oleh penjajah memandang bahwasanya masyarakat Indonesia yang dijajah adalah sapi perahan yang hanya diambil susu dan dagingnya tanpa kesejahterahan. Hal ini menurut penulis merupakan inspirasi teologis dan pola kenabian yang melandasi Tjoroaminoto didalam perumusan Islam dan Sosialisme tersebut. Sifat kepemimpinan profetik HOS Tjokroaminoto inilah yang penulis fikir mampu menghasilkan tokoh-tokoh bekas murid beliau sekaliber Ir. Soekarno, Semaoen, Alimin, Kartosuwirjo, Musso, Hamka, sehingga tak heran jika beliau di beri predikat sebagai Guru Bangsa. Bahkan Abdul Malik Karim Amrullah saat itu masih berusia belasan tahun ketika pertama kali bertatap muka dengan beliau. Malik rutin mengikuti kursus yang diselenggarakan SI di Yogyakarta pada pertengahan era 1920-an. Tjokroaminoto mengampu materi tentang Islam dan Sosialisme. Malik berkata, “Beliau dalam kursusnya tidak mencela Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya sebab teori Histori Materialisme mereka telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung sebab tidak perlu mengambil teori yang lain lagi”, sebut Malik (Amelz, HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, 1952: 36). Putra Minang yang sudah merantau ke Jawa sejak usia 16 tahun ini memang sangat mengidolakan dan mengagumi sosok HOS Tjokroaminoto sama dengan penulis. “Bilamana tiba giliran beliau, Tjokroaminoto, mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah-wajah para kursusisten (peserta kursus). Saya seakan-akan bermimpi, sebab akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi jiwaku”, kenang Malik. Malik murid Tjokroaminoto sang Guru Bangsa , kelak dikenal dengan Buya Hamka salah satu tokoh besar di Negeri ini. Sejatinya sifat kepemimpinan profetik inilah yang seharusnya disadur oleh pemimpin-pemimpin di dunia, khususya penulis sendiri. Semoga tulisan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Aamiin. Kepada para pembaca mohon arahan dan bimbingan apabila tulisan saya ini masih terdapat kesalahan dan kekeliruan didalam penulisannya. Yakin Usaha Sampai !! 

Medan, 14 Februari 2018 
Penulis Muhammad Ardiyansyah

Quo Vadis Sistem Pendidikan Indonesia

2/08/2018 Add Comment
Setelah hampir 12 tahun calon penerus bangsa Indonesia dicekoki dengan sistem pendidikan yang umumnya anti-dialogis, maka sudah seharusnya para pelajar atau mahasiswa bisa berpikir cerdas dan bebas untuk setidaknya membebaskan diri dari metode pendidikan jenis ini.
Mengutip grand design mengenai pendidikan dari Paulo Freire (1921-1997), jika pendidikan menjadikan mahasiswa atau pelajar bahkan masyarakat sebagai objek belajar (murid yang harus dipaksa menerima dalil ilmu) dengan ciri khas anti-dialogis maka di sinilah terjadi proses dehumanisasi, yaitu proses penghilangan harkat manusia. Hal ini disebabkan karena fitrah seorang manusia yang harusnya bebas berpikir, berkehendak dan memilih dihambat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perkembangan yang signifikan. Bisa kita bayangkan, berapa banyak sekolah atau institusi pendidikan yang murid atau pelajarnya ‘segan’ atau takut dalam menyampaikan pendapat selama proses belajar mengajar berlangsung. Dalam satu ruangan, paling tidak hanya 5 % pelajar yang berani mengungkapkan pendapatnya sesuai bidang ilmu yang dipelajari.  Pendidikan dengan metode ini disebut pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank karena dalam proses belajar mengajar, guru atau dosen dan tenaga pengajar lainnya tidak memberikan pengertian kepada siswa/mahasiswa, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada objek belajar tersebut untuk kemudian harus dikeluarkan dalam bentuk yang sama. Dan ketika pelajar tidak mampu mengeluarkan dalil atau rumusan yang diajarkan, maka dianggap tidak mampu dan kapabel dalam mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini persis seperti konsep menyimpan uang di bank, berapa jumlah uang yang Anda simpan di bank, maka sebanyak itulah yang akan dapat Anda tarik kembali di saat Anda memerlukannya. Ya, inilah yang pada akhirnya menelurkan penerus bangsa seorang penghapal ulung bukan pemikir ulung. Hasil dari pendidikan jenis ini adalah “robot” atau “beo”, yaitu orang – orang yang pintar menghapal, kepalanya dipenuhi dengan teori yang begitu banyak, namun canggung dalam lingkungan sosial.
Berikut ini adalah ciri-ciri pendidikan “gaya bank” :
1.Guru mengajar, murid belajar
2.Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3.Guru berpikir, murid dipikirkan
4.Guru mengatur, murid diatur
5.Guru berbicara, murid diam
6.Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya
Masih relevankah sistem pendidikan seperti ini yang pada akhirnya akan menyebabkan dehumanisasi, bukan humanisasi? Padahal kita tahu bersama bahwa esensi dan muara dari seluruh proses pendidikan yang kita jalankan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi adalah humanizing human, memanusiakan manusia. Berdasarkan hal ini, maka sudah seharusnya konsep pendidikan yang diterapkan adalah konsep yang mampu mendidik dan mewujudkan manusia yang sesungguhnya. Manusia diberi kelebihan berupa akal, akal digunakan untuk berpikir, menganalisis dan memaknai ilmu atau pengalaman yang diperoleh. Oleh karena itu, konsep yang seharusnya digunakan adalah Problem possing education (pendidikan terhadap masalah). Pendidikan jenis ini menitikberatkan pada proses dialektika yang berasal dari kata dialog, yaitu proses komunikasi dua arah antara tenaga pengajar dan pelajar. Setelah itu akan terjadi model dialektika berupa pembentukan tesis - antitesis - sintesis, mudahnya seperti proses “trial and error.” Siswa atau mahasiswa diberi masalah yang berkaitan dengan profesi keilmuan yang ditekuni dan dibimbing untuk mencari solusinya, pada akhirnya akan terjadi proses dialektika (tesis - antitesis - sintesis). Pada konsep pendidikan seperti ini, maka kesalahan - kesalahan yang dilakukan oleh pelajar selama proses belajar mengajar adalah bagian menuju pematangan keilmuan dan karakternya. Proses dialog - aksi - refleksi dan dialektika ini akan terjadi secara berulang. Setiap kali sebuah proses dialektika terjadi, akan dilanjutkan dengan dialektika berikutnya. 

Sistem pendidikan ini sudah digunakan dan diterapkan sepenuhnya di negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, yaitu Finlandia. Finlandia berhasil mencapai nilai tertinggi dalam keberhasilan sistem pendidikan berdasarkan survei PISA pada tahun 2000,2003, dan 2006. Survei dilakukan dengan mengukur kemampuan matematika, membaca, dan problem solving (pemecahan masalah) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Lantas apa yang menjadi pembeda antara sistem pendidikan di Finlandia dan negara – negara lainnya termasuk Indonesia? Tentunya jika kita membandingkannya maka akan banyak faktor yang menyebabkan sistem pendidikan di Finlandia lebih baik dari sistem pendidikan di negara lainnya, baik dari konsep pendidikan, kurikulum, seleksi SDM untuk tenaga pengajar, dan lain sebagainya. Salah satu perbedaan tersebut adalah adanya otonomi atau independensi dari tenaga pengajar dan juga pelajar. Bahkan, pelajar diberikan kebebasan untuk menentukan jadwal ujian untuk mata pelajaran yang menurut mereka telah dikuasai, begitu juga tenaga pengajar dan sekolah memiliki kebebasan untuk menentukan kurikulum dan evaluasi belajar, sehingga tidak ada intervensi dari pemerintah sama sekali dalam mengevaluasi hasil dari sistem pendidikan yang dijalankan. Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan sistem pendidikan di Finlandia dengan negara – negara lainnya.
Berikut beberapa hal dalam teknis pelaksanaan sistem pendidikan Finlandia yang berbeda dengan Indonesia : (1) Finlandia memulai sekolah anak saat mereka berusia tujuh tahun, berbeda dengan Indonesia, yang orangtua justru bangga ketika anaknya mampu sekolah di bawah usia 7 tahun, (2) Kemampuan pelajar tidak diukur melalui ranking selama pendidikan dasar enam tahun, berbeda dengan Indonesia yang para pelajar sudah tertekan lebih dahulu karena harus mengejar rank tertinggi, (3) Evaluasi secara komprehensif melalui ujian nasional hanya dilakukan sekali yaitu pada saat 16 tahun ketika pendidikan dasar berakhir, bandingkan dengan pelajar Indonesia yang harus melewati Ujian Nasional sebanyak tiga kali (SD, SMP, dan SMA) ditambah dengan ujian – ujian selama sekolah setiap beberapa bulan sekali, (4) Tidak terdapat kelas unggulan dan non-unggulan, berbeda dengan sistem perkelasan di Indonesia yang mengurutkan kelas pelajar sesuai kemampuannya sehingga terbentuk “kasta” dalam dunia pendidikan.
Walaupun sistem pendidikan yang ada di Indonesia saat ini sudah berkonsep “problem based learning”, “student centre learning”, dan istilah lainnya yang memiliki makna yang sama, namun perangkat yang menjalankan sistem ini belum sadar dan optimal dalam melaksanakannya, baik dari siswa atau mahasiswa yang tidak sadar bahwa masalah sangat diperlukan dalam proses pengembangan diri, maupun tenaga pengajar yang masih senang bernostalgia dan belum move on dari sistem lama yang umumnya mengakibatkan proses belajar mengajar yang kaku, tidak kreatif dan tidak inovatif. Hal ini berujung pada kemandekan berpikir dan nalar pada pelajar. Pada akhirnya sistem yang sudah dikemas sedemikian rupa, tak berjalan dengan baik.
Pendidikan dengan konsep problem possing education inilah yang masih jarang diimplementasikan sampai pada hari ini. Kesimpulannya adalah, di manapun kita belajar, siapapun guru kita, seberapa mahal biaya sekolah atau kuliah kita, jika kita merasa metode pendidikan yang kita jalani berciri-ciri seperti konsep pendidikan yang pertama, maka kita sedang berjalan mundur menuju dehumanisasi, bukan humanisasi. Kita hanya akan menjadi robot-robot penerus bangsa yang hapal sejumlah teori dan dalil namun tidak mampu memanfaatkannya untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa teori merupakan pondasi, namun proses setelah penerimaan teori adalah trigger untuk mengembangkan akal dan nalar kita. Maka, untuk memperbaiki kesemrawutan yang ada serta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai preambule UUD 1945, perlulah kiranya kita menyadari bahwa sebagai tenaga pengajar ataupun pelajar kita harus mengimplementasikan sistem yang sudah diatur sedemikian rupa dalam proses belajar mengajar sehari – hari serta mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat pada sistem yang sedang berjalan.

Penulis Dendy Dwi Rizki Gunawan

Bereskan Hal Kecil Terlebih Dahulu

2/08/2018 Add Comment
bolokajiblog- Ketika saya berbicara dalam sebuah konferensi atau hadir dalam acara penandatanganan buku, kadang orang becerita bahwa mereka juga ingin menulis buku. “Bagaimana cara memulai?” tanya mereka.
“Berapa banyak tulisan yang sudah Anda buat?” Saya balik bertanya.
Sebagian menyebut-nyebut artikel atau tulisan lain yang sedang mereka tulis, dan saya hanya coba menyemangati mereka, tetapi sering terjadi mereka menjawab malu, “Anu, sebenarnya saya masih belum menulis apa-apa.”
“Kalau begitu, Anda perlu mulai menulis,” jelas saya. “Anda harus mulai dengan yang kecil dan meningkatkannya sedikit demi sedikit.”
Sama halnya dengan kepemimpinan. Anda harus mulai dengan hal kecil dan meningkatkannya sedikit demi sedikit. Seorang yang belum pernah memimpin perlu mencoba memengaruhi orang lain. Seorang yang telah memiliki pengaruh harus mencoba membangun tim. Mulai saja dengan hal-hal yang dianggap perlu.
St. Fransiskus dari Assisi berkata, “Mulai mengerjakan apa yang perlu, kemudian lakukan apa yang bisa dikerjakan, dan tiba-tiba saja Anda akan mampu mengerjakan apa yang tidak mungkin Anda kerjakan.” Semua kepemimpinan diawali dari posisi seperti Anda. Napoleon berkata, “Satu-satunya penaklukan permanen dan tidak menyisakan penyesalan adalah penaklukan atas diri sendiri.” Tanggung jawab kecil yang Anda miliki sekarang merupakan penaklukan kepemimpinan besar pertama yang harus Anda lakukan. Jangan pernah mencoba menaklukkan dunia sebelum Anda membereskan hal-hal kecil di dalam diri Anda.

"Apa saja langkah kepemimpinan kecil dan spesifik yang dapat anda ambil hari ini?"

Medan, 8 Februari 2018
Dikutip dari tulisan John C. Maxwell dalam bukunya The Maxwell Daily Reader
Foto diambil dari dewa97.com

Perang dan Perebutan Kekuasaan

2/06/2018 Add Comment
bolokajiblog- Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi. Begitulah pandangan Ramlan Surbakti mengenai istilah kekuasaan. Miriam Budiarjo menjelaskan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Patricia membagi unsur kekuasaan ada tiga yaitu tujuan, cara, dan hasil. Kekuasaan dapat digunakan dengan cara baik dan cara yang tidak baik. Jika pemegang kekuasaan mempunyai tujuan yang baik maka cara yang digunakan tentunya juga baik, begitu juga sebaliknya. Benar yang dikatakan para motivator bahwa “berpikir positif akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan positif”. Unsur kekuasaan yang terakhir adalah hasil. Hasil ini sangat berpengaruh dari pemegang kuasa dan orang yang dikuasai. Semakin baik pemegang kuasa dan orang yang dikuasai maka hasilnya juga tentu semakin baik. Kekuasaan dapat diperoleh dengan berbagai cara yaitu pertama dipilih melalui kesepakatan bersama, kedua si pemegang kuasa memilih penerusnya, ketiga dipilih melalui dewan khusus, dan keempat dengan cara pemberontakan. Dalam sejarah Islam (Sejarah Peradaban Islam, Syamruddin) tercatat ketika Rasulullah wafat maka kekuasaan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Ada perbedaan pendapat mengenai kelanjutan kekuasaan ini. Kaum Anshor dan kaum Muhajirin berbeda pendapat siapa pengganti Rasul, sementara Ahlul Bait berpendapat bahwa Rasul telah menunjuk Ali sebagai khalifah pengganti Rasul. Menurut catatan sejarah Abu Bakar dipilih secara musyawarah tanpa dukungan dari Ali dienam bulan pertama kekuasaanya. Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebelum beliau wafat. Utsman terpilih melalui dewan khusus “Panitia Enam” yang dibentuk oleh Umar. Pada saat Utsman memegang tampuk kekuasan, ada desakan dari pemberontak supaya Utsman mundur. Pemberontak menyerbu kediaman Utsman dan pada akhirnya Usman terbunuh. Pasca Utsman terbunuh pemberontak mendesak Ali supaya menggantikan posisi Utsman namun Ali menolak desakan tersebut. Kemudian pemberontak meminta Sa’at bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Auf untuk menjadi pengganti Utsman namun ditolak oleh keduanya. Kaum pemberontak kembali meminta Ali untuk menjadi khalifah dan akhirnya Ali menerima dengan syarat diberi kesempatan untuk memerintah sesuai Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perseteruan politik untuk memperebutkan kekuasaan hadir dengan banyak dinamika yang berbeda-beda. Salah satu dinamika yang terjadi untuk memperebutkan kekuasaan adalah perang. Sejarah kelam Islam tercatat pernah terjadi perang saudara pada saat Ali memegang kekuasaan, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ikhwal ini terjadi lantaran meninggalnya Utsman ditangan para pemberontak. Aisyah dan pasukannya menentang Ali karena menginginkan Abdullah bin Zubeir diangkat menjadi khalifah. Abdullah bin Zubeir mencoba memperalat Aisyah untuk mewujudkan ambisinya yang ternyata juga ingin menjadi khalifah. Akhirnya Aisyah dan pasukkannya sebanyak 20.000 orang melakukan perjalanan untuk memerangi Ali yang memiliki pasukan sebanyak 10.000 orang. Ketika dua pasukan bertemu sempat terjadi negosiasi antara pasukan Ali dan Aisyah hingga keduanya sepakat untuk berdamai. Namun dipasukan Ali ada pengkhianat pengikut Abdullah bin Saba’ yang tidak suka dengan perdamaian ini. Tanpa sepengatahuan Ali, pengikut ini memancing keributan dan akhirnya terjadi perang saudara pertama kali dalam sejarah umat Islam yang disebut dengan Perang Jamal. Pada perang ini kemenangan ada di pihak Ali. Dinamika lain pada saat Ali menjadi khalifah adalah konflik yang berkepanjangan dengan Muawiyah. Muawiyah dapat dikatakan masih satu keturunan dengan Utsman sehingga berpikir bahwa merekalah yang berhak menuntut atas terbunuhnya Utsman, bukan Aisyah. Muawiyah dan pengikutnya menuduh Ali terlibat dalam peristiwa wafatnya Utsman. Mereka meminta pertanggungjawaban atas peristiwa itu. Namun Ali tidak memenuhi permintaan tersebut sehingga Muawiyah menolak atas kekhalifahan Ali. Ali berpendapat bahwa Muawiyah sebagai pembangkang. Akhirnya Ali mengutus pasukan sebanyak 50.000 orang untuk memerangi 80.000 orang pasukan Muawiyah. Ketika kedua pasukan bertemu disuatu tempat bernama Shiffin, untuk kedua kalinya Ali berkeinginan untuk tidak terjadi perperangan dan meminta Muawiyah mengakuinya sebagai khalifah. Namun Muawiyah menolak itu semua sehingga terjadi peperangan yang menelan korban sebanyak 70.000 orang. Menilik sejarah yang terjadi bahwasanya perebutan kekuasaan banyak melahirkan perang-perang yang menelan banyak korban. Ketika Belanda dan Jepang mencoba menguasai Nusantara juga begitu. Bahkan konon, runtuhnya Kerajaan Majapahit juga dikarenakan terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Jika dikaitkan dengan kondisi masa kini, apakah perang fisik masih terjadi. Hemat saya masih terjadi seperti dibeberapa Negara timur Tengah. Tp tahukah kita bahwasanya ada yang lebih bahaya dari perang fisik? Jawabannya ada yaitu perang pemikiran. Perang pemikiran ini muncul dari luar yang tidak ingin “kita” bersatu. Sejatinya kita merasakan bahwa kita tidak berada dipeperangan, namun faktanya pemikiran kita sebenarnya sedang diperangi. Salah satu tujuannya adalah membuat dan membentuk sekat-sekat atau kelompok-kelompok sehingga kita terpecah belah. Seorang senior pernah berkata kepada saya "Jika ingin melihat karakter seseorang, beri dia kekuasaan". Baru beberapa hari ini saya tau kalau itu adalah kutipan dari perkataan Abraham Lincoln. Kalau saya lebih sepakat sebenarnya jika kalimat itu diganti menjadi "Jika ingin melihat karakter seseorang, lihat bagaimana ketika dia mengejar kekuasaan". Mengejar kekuasaan bisa jadi memperjuangkan dirinya sendiri atau kepentingan kelompok nya sehingga kemungkinan memunculkan gesekan satu sama lain. Lantas apa kita mau terus-terusan seperti ini? Saya teringat dengan seorang lelaki tua yang pernah saya temui. Kali pertama saya bertemu dengan lelaki tua itu di Mesjid Al-Amin jalan HM Yamin. Kala itu saya masih bersekolah di MAN 2 Model Medan sekitar tahun 2010/2011. Lelaki tua itu mengatakan dirinya profesor gadungan dan telah banyak menemukan temuan temuan baru. Namun hasil temuannya itu dibajak oleh orang yang iri akan kemampuannya, hingga akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya disiksa dan ada upaya untuk merusak pikirannya hingga dia dianggap gila. Secara fisik memang tampilan lelaki tua itu seperti orang yang tidak waras, sekasar-kasarnya gila. Namun saya sempat terkagum-kagum dengan kemampuan berhitungnya yang bisa berhitung dengan cepat tanpa menggunakan kalkulator. Lelaki tua itu bisa dengan tepat menebak plat kendaraan hasil perkalian berapa dengan berapa. Contohnya jika plat kendaraan tersebut 6012 maka beliau dengan sangat tepat dan cepat tau bahwa 6012 adalah perkalian dari 2x2x3x3x167. Bahkan beliau mampu mengalikan angka 4 digit dengan 4 digit secara tepat dan cepat juga. Dilain waktu saya berkesempatan bertemu lagi dengan beliau di Mushola FKG dan bahkan beberapa hari lalu saya bertemu di perempatan lampu merah simpang kampus USU. Beliau memberikan saya selembar kertas yang selalu dibawanya kemana-mana sambil mengatakan “ini rintihan saya”. Isi kertas itu berupa tulisan yang diketik dengan tambahan tulisan tangan yang membahas peperangan yang terjadi dibeberapa Negara belahan dunia. Ada satu kalimat yang buat saya terkesima, beliau menuliskan “peperangan itu menghabiskan biaya yang besar dan memakan banyak korban. Lebih baik biaya perang itu digunakan untuk membantu negara miskin di Afrika dll”. Lagi-lagi saya harus terkagum dengan pikirannya. Lelaki tua yang mengatakan dirinya profesor gadungan, secara fisik seperti orang gila namun memiliki pikiran yang sehat dan cinta akan kedamaian. Lantas kita yang secara fisik berpenampilan sehat dan waras kenapa berpikir tidak sehat dan gila akan kekuasaan? Bukankah hidup tanpa sekat sekat itu jauh lebih indah. Saya pikir Perjuangan Islam tidak akan tegak tanpa adanya Ukhuwah Islamiyah, konon lagi berbicara Ukhuwah Insaniyah. Medan, 1 Februari 2018
Penulis MY Foto diambi dari sejarahislamarab.blogspot.com

Senior

2/06/2018 Add Comment
bolokajiblog- Kemarin pagi disela-sela aktivitas, saya menyempatkan diri untuk membuka akun FB saya dari laptop. Keterbatasan telepon genggam membuat saya dalam beberapa hari ini harus menggunakan laptop untuk berkoneksi dengan dunia maya. Ketika akun FB tersebut saya buka, ada masuk pemberitahuan dari beberapa teman FB termasuk postingan yang ditandai kesaya oleh pendahulu saya dikampus dan diorganisasi tempat saya berkecimpung. Isi postingan itu sederhana dan membahas tentang “Senior”. Beranjak dari postingan tersebut muncul pertanyaan apa indikator seseorang disebut senior? Senior karena usiakah atau karena kualitas? Didalam himpunan ada istilah “Senior Course”, apa maksud  dari kata senior tersebut? Dari postingan sederhana tersebut muncul beberpa pertanyaan yang menuntut kita untuk berpikir.
Didalam hidup ini memang kita selalu dituntut untuk berpikir. Dengan berpikir maka akan muncul banyak pertanyaan. Dengan adanya pertanyaan maka muncul usaha untuk mencari pengetahuan. Dan dengan pengetahuan tersebut kita tahu letak suatu kebenaran. Mungkin kira-kira begitulah alur berpikir dari sedikit buku pengantar filsafat yang pernah saya baca. Kalau kata Tan Malaka didalam bukunya Madilog, titik kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang, dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Artinya untuk menjawab suatu pertanyaan yang muncul dari pikiran itu butuh waktu dan proses. Untuk itu saya akan coba mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.
Kata senior menurut KBBI artinya : 1. Orang yang tinggi dalam jabatan, 2. Lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan, 3. Berada dalam tingkat sarjana bagi mahasiswa dan kelas terakhir bagi pelajar SMU dan SLTP, 4. Lebih tua dalam usia. Lawan kata dari senior adalah junior. Defenisi dari junior menurut KBBI sebagai berikut : 1. lebih muda, khususnya antara dua orang bersaudara (kakak beradik) atau antara bapak dan anak yang mempunyai nama akhir sama, 2.Berpangkat atau berkedudukan lebih rendah, lebih muda keanggotaannya. Dari definisi tersebut sebenarnya sudah terjawab apa indikator seseorang disebut senior. Seseorang bisa dikatakan senior jika lebih tua secara usia, tinggi secara jabatan dan tingkatan, atau lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan. Tinggal sebenarnya kita mau memilih senior dari pendekatan apa. Saya sendiri lebih suka dengan pendekatan yang terakhir, dianggap senior karena lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan. Lantas mereka yang tak punya kualitas bagaimana? Saya pikir setiap orang punya kelebihan masing-masing. Jika pun mereka punya kualitas tak mumpuni dalam bidang tertentu ya tetap juga disebut senior jika dilihat dari sisi usia.
Beralih kepertanyaan selanjutnya mengenai Senior Course (SC) dalam himpunan. Apa maksud senior dalam istilah himpunan?. Senior Course jika diterjemahkan kedalam bahasa indonesia artinya kursus senior. Didalam konstitusi himpunan yang berisi AD/ART dan beberapa pedoman, kata senior pertama kali disebutkan pada pasal 49 ART tentang Badan Pengelola Latihan (BPL). BPL adalah lembaga yang mengelola aktivitas pelatihan dilingkunan himpunan. Pengurus BPL adalah anggota biasa yang sudah mengikuti SC. Mereka yang sudah mengikuti SC dan mengelola pelatihan disebut instruktur. Seorang Instruktur dituntut untuk menjadi uswah dari sisi apapun. Untuk tau lebih lanjut mengenai BPL, SC, atau Instruktur saya pikir bisa dibaca dipedoman BPL himpunan. Karena jika dibahas disini terlalu panjang. Jadi penyebutan senior didalam konstitusi himpunan hanya merujuk kepada mereka yang sudah mengikuti Senior Course. Saya sendiri tidak mau menyempitkan istilah itu hanya sebatas jenjang Training. Saya lebih suka pendekatan bahwa setiap orang harus meng-upgrade kualitas dirinya tanpa peduli usianya masih muda dan jabatannya rendah hingga dia layak disebut senior bukan karena usia tapi karena kualitasnya. Karena sejatinya senior secara usia itu pasti dan senior karena kualitas itu pilihan.
Lantas bagaimana kita beretika dalam hubungan junior-senior. Terlepas seseorang itu disebut senior karena usia, jabatan, atau kualitas. Intinya tetap harus saling menghargai. Sesuai sabda Rasul "Bukan termasuk dari kami seseorang yang tidak menyayangi yang kecil dan tidak memuliakan yang besar".

Medan, 23 Januari 2018
Penulis MY

Foto diambil dari thetomatos.com