Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Islam dan Ilmu Pengetahuan

2/22/2018 Add Comment
bolokaji- Islam merupakan ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT sebagai ajaran yang haq lagi sempurna untuk mengatur umat manusia dalam berkehidupan. Ajaran Islam menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar. 
Orang yang beragama Islam disebut seorang Muslim. Bagi seorang Muslim, iman adalah bagian paling mendasar dari kesadaran keagamaannya. Iman sering diperbincangkan dalam pertemuaan keagaaman dan sering menjadi pertanyaan “Sudahkah kita beriman?” “Sebesar apa keimanan kita?” dalam berbagai makna dan tafsirannya, sebagai rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Iman sangat erat kaitannya dengan amal. Ketika muslim beriman pasti akan mengerjakan amalannya sebaik mungkin. Iman dan amal membentuk pola segitiga dengan ilmu yang melengkapi peran umat manusia yang kukuh dan benar di mukabumi. Seolah menengahi antara iman dan amal itu dari suatu segi sebagaimana ibadah juga menengahi antara keduanya dari segi yang lain.
Posisi ilmu menjadi bagian penting dalam esensi ajaran islam. Hal ini juga banyak menimbulkan perdebatan antara iman yang didahulukan atau ilmu. Terlepas dari itu, iman dan ilmu menjadi dua unsur yang sangat erat dalam menjalankan amalan di dunia. Manusia sejatinya dalam menjalankan perannya di dunia cenderung kepada kebenaran (hanief) dan proses mencari kebenaran tersebut membutuhkan ilmu. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian ilmu pengetahuan dan objek pengetahuan.
Dalam konsep filsafat ilmu yang saya ketahui, pemakaian kata ilmu setidaknya ada tiga makna yang dikandungnya yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Ilmu secara umum diartikan dengan pengetahuan (knowledge). Namun pengetahuan yang dimaksud adalah kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (a systematic body of knowledge). Sering dinyatakan ilmu adalah pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method).
Mengutip dari buku Islam Mazhab HMI karya Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag "manusia harus menyadari dengan benar posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi dengan memanfaatkan dan memelihara alam untuk kepentingan seluruh makhluk. Tugas ini akan terlaksana dengan baik jika manusia memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi."
Umat Islam seharusnya menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, apalagi yang bersumber dari Islam sendiri. Islam menyediakan sumber ilmu pengetahuan melalui panduan firman Allah SWT yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang ilmiah banyak ilmuwan muslim yang mendapatkan inspirasi untuk melakukan penelitian-penelitian. Umat islam sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yang dibawa dari Yunani Kuno. Hal ini terlihat dari munculnya para filsuf muslim diantaranya ialah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (sekitar 257 H/870 M). Al-Kindi secara khusus dikenal sebagai filsuf bangsa Arab (faylasūf al-‘Arab). Dilain hal ada Al- Khawarizmi dari Khiva seorang yang ahli dalam ilmu matematika dan dipandang orang yang pertama kali menemukan teori al-Jabar. Kemudian ada Al- Biruni (973-1048) seorang ahli astronomi yang berhasil menentukan secara akurat garis lintang dan bujur. Beberapa ilmuwan muslim dari disiplin ilmu yang lain masih banyak dan tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Sejarah inilah yang menjadikan masa kejayaan umat islam dengan ilmu pengetahuannya, berbanding terbalik dengan bangsa eropa yang berada dalam kegelapan.
Pengetahuan modern merupakan tingkat-mutakhir perkembangan peradaban umat manusia secara keseluruhan karena berbagai hal, kebetulan dimulai oleh bangsa-bangsa dari kawasan Eropa Barat Laut. Ciri peradaban mutakhir itu ialah teknologi. Teknologi ini, pada gilirannya, ditopang oleh suatu sistem kognitif yang dilandasi oleh empirisisme. Inilah yang kita maksudkan dengan ilmu pengetahuan modern. Selain empirisisme yang amat menonjol, ilmu pengetahuan modern juga berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik karena sikapnya yang selalu memandang kedepan, sehingga ilmu pengetahuan menjadi tidak berhenti pada suatu tapal batas (frontier). Oleh karena itu, eksplorasi dan riset (research) merupakan bagian mutlak ilmu pengetahuan modern.
Dizaman sekarang atau istilah familiarnya “Zaman Now” yang merupakan era modern, perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh bangsa Eropa dan Amerika. Umat muslim seakan “Mengaminkan” bahwasannya ilmu pengetahuan modern berasal dari bangsa Barat. Sungguh sebuah realita yang menyedihkan karena Islam pernah menjadi “Guru” pada masa “Jahiliyyah” oleh bangsa barat namu pada saat ini Islam yang menjadi konsumen teknologi karya“Murid” nya.
Melihat kondisi ketertinggalan Islam, sebagai seseorang yang memegang predikat mahasiswa pastinya saya mendapat tekanan besar dengan kondisi ilmu pengetahuan saat ini. Mahasiswa muslim diharuskan mempunyai kemampuan kognitif tinggi, afektif baik dan cekatan dari segi psikomotorik sebagai modal diri dalam proses mencari kebenaran. Al-Qur’an yang menuangkan firman Allah SWT sebagai sumber ilmu pengetahuan alam semesta harus dapat diobservasi dan memformulasikannya untuk menjawab tantangan ilmu pengetahuan modern.
Akhir kata “Siapkah Anda Menjadi Salah Satu Ilmuwan Muslim Penantang Ilmu Pengetahuan Modern?”


Penulis :Rahmad Hanif, Ketua Umum HMI Komisariat FKG USU Periode 2016-2017

Foto diambil dari slideshare.net

Quo Vadis Sistem Pendidikan Indonesia

2/08/2018 Add Comment
Setelah hampir 12 tahun calon penerus bangsa Indonesia dicekoki dengan sistem pendidikan yang umumnya anti-dialogis, maka sudah seharusnya para pelajar atau mahasiswa bisa berpikir cerdas dan bebas untuk setidaknya membebaskan diri dari metode pendidikan jenis ini.
Mengutip grand design mengenai pendidikan dari Paulo Freire (1921-1997), jika pendidikan menjadikan mahasiswa atau pelajar bahkan masyarakat sebagai objek belajar (murid yang harus dipaksa menerima dalil ilmu) dengan ciri khas anti-dialogis maka di sinilah terjadi proses dehumanisasi, yaitu proses penghilangan harkat manusia. Hal ini disebabkan karena fitrah seorang manusia yang harusnya bebas berpikir, berkehendak dan memilih dihambat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perkembangan yang signifikan. Bisa kita bayangkan, berapa banyak sekolah atau institusi pendidikan yang murid atau pelajarnya ‘segan’ atau takut dalam menyampaikan pendapat selama proses belajar mengajar berlangsung. Dalam satu ruangan, paling tidak hanya 5 % pelajar yang berani mengungkapkan pendapatnya sesuai bidang ilmu yang dipelajari.  Pendidikan dengan metode ini disebut pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank karena dalam proses belajar mengajar, guru atau dosen dan tenaga pengajar lainnya tidak memberikan pengertian kepada siswa/mahasiswa, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada objek belajar tersebut untuk kemudian harus dikeluarkan dalam bentuk yang sama. Dan ketika pelajar tidak mampu mengeluarkan dalil atau rumusan yang diajarkan, maka dianggap tidak mampu dan kapabel dalam mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini persis seperti konsep menyimpan uang di bank, berapa jumlah uang yang Anda simpan di bank, maka sebanyak itulah yang akan dapat Anda tarik kembali di saat Anda memerlukannya. Ya, inilah yang pada akhirnya menelurkan penerus bangsa seorang penghapal ulung bukan pemikir ulung. Hasil dari pendidikan jenis ini adalah “robot” atau “beo”, yaitu orang – orang yang pintar menghapal, kepalanya dipenuhi dengan teori yang begitu banyak, namun canggung dalam lingkungan sosial.
Berikut ini adalah ciri-ciri pendidikan “gaya bank” :
1.Guru mengajar, murid belajar
2.Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3.Guru berpikir, murid dipikirkan
4.Guru mengatur, murid diatur
5.Guru berbicara, murid diam
6.Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya
Masih relevankah sistem pendidikan seperti ini yang pada akhirnya akan menyebabkan dehumanisasi, bukan humanisasi? Padahal kita tahu bersama bahwa esensi dan muara dari seluruh proses pendidikan yang kita jalankan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi adalah humanizing human, memanusiakan manusia. Berdasarkan hal ini, maka sudah seharusnya konsep pendidikan yang diterapkan adalah konsep yang mampu mendidik dan mewujudkan manusia yang sesungguhnya. Manusia diberi kelebihan berupa akal, akal digunakan untuk berpikir, menganalisis dan memaknai ilmu atau pengalaman yang diperoleh. Oleh karena itu, konsep yang seharusnya digunakan adalah Problem possing education (pendidikan terhadap masalah). Pendidikan jenis ini menitikberatkan pada proses dialektika yang berasal dari kata dialog, yaitu proses komunikasi dua arah antara tenaga pengajar dan pelajar. Setelah itu akan terjadi model dialektika berupa pembentukan tesis - antitesis - sintesis, mudahnya seperti proses “trial and error.” Siswa atau mahasiswa diberi masalah yang berkaitan dengan profesi keilmuan yang ditekuni dan dibimbing untuk mencari solusinya, pada akhirnya akan terjadi proses dialektika (tesis - antitesis - sintesis). Pada konsep pendidikan seperti ini, maka kesalahan - kesalahan yang dilakukan oleh pelajar selama proses belajar mengajar adalah bagian menuju pematangan keilmuan dan karakternya. Proses dialog - aksi - refleksi dan dialektika ini akan terjadi secara berulang. Setiap kali sebuah proses dialektika terjadi, akan dilanjutkan dengan dialektika berikutnya. 

Sistem pendidikan ini sudah digunakan dan diterapkan sepenuhnya di negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, yaitu Finlandia. Finlandia berhasil mencapai nilai tertinggi dalam keberhasilan sistem pendidikan berdasarkan survei PISA pada tahun 2000,2003, dan 2006. Survei dilakukan dengan mengukur kemampuan matematika, membaca, dan problem solving (pemecahan masalah) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Lantas apa yang menjadi pembeda antara sistem pendidikan di Finlandia dan negara – negara lainnya termasuk Indonesia? Tentunya jika kita membandingkannya maka akan banyak faktor yang menyebabkan sistem pendidikan di Finlandia lebih baik dari sistem pendidikan di negara lainnya, baik dari konsep pendidikan, kurikulum, seleksi SDM untuk tenaga pengajar, dan lain sebagainya. Salah satu perbedaan tersebut adalah adanya otonomi atau independensi dari tenaga pengajar dan juga pelajar. Bahkan, pelajar diberikan kebebasan untuk menentukan jadwal ujian untuk mata pelajaran yang menurut mereka telah dikuasai, begitu juga tenaga pengajar dan sekolah memiliki kebebasan untuk menentukan kurikulum dan evaluasi belajar, sehingga tidak ada intervensi dari pemerintah sama sekali dalam mengevaluasi hasil dari sistem pendidikan yang dijalankan. Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan sistem pendidikan di Finlandia dengan negara – negara lainnya.
Berikut beberapa hal dalam teknis pelaksanaan sistem pendidikan Finlandia yang berbeda dengan Indonesia : (1) Finlandia memulai sekolah anak saat mereka berusia tujuh tahun, berbeda dengan Indonesia, yang orangtua justru bangga ketika anaknya mampu sekolah di bawah usia 7 tahun, (2) Kemampuan pelajar tidak diukur melalui ranking selama pendidikan dasar enam tahun, berbeda dengan Indonesia yang para pelajar sudah tertekan lebih dahulu karena harus mengejar rank tertinggi, (3) Evaluasi secara komprehensif melalui ujian nasional hanya dilakukan sekali yaitu pada saat 16 tahun ketika pendidikan dasar berakhir, bandingkan dengan pelajar Indonesia yang harus melewati Ujian Nasional sebanyak tiga kali (SD, SMP, dan SMA) ditambah dengan ujian – ujian selama sekolah setiap beberapa bulan sekali, (4) Tidak terdapat kelas unggulan dan non-unggulan, berbeda dengan sistem perkelasan di Indonesia yang mengurutkan kelas pelajar sesuai kemampuannya sehingga terbentuk “kasta” dalam dunia pendidikan.
Walaupun sistem pendidikan yang ada di Indonesia saat ini sudah berkonsep “problem based learning”, “student centre learning”, dan istilah lainnya yang memiliki makna yang sama, namun perangkat yang menjalankan sistem ini belum sadar dan optimal dalam melaksanakannya, baik dari siswa atau mahasiswa yang tidak sadar bahwa masalah sangat diperlukan dalam proses pengembangan diri, maupun tenaga pengajar yang masih senang bernostalgia dan belum move on dari sistem lama yang umumnya mengakibatkan proses belajar mengajar yang kaku, tidak kreatif dan tidak inovatif. Hal ini berujung pada kemandekan berpikir dan nalar pada pelajar. Pada akhirnya sistem yang sudah dikemas sedemikian rupa, tak berjalan dengan baik.
Pendidikan dengan konsep problem possing education inilah yang masih jarang diimplementasikan sampai pada hari ini. Kesimpulannya adalah, di manapun kita belajar, siapapun guru kita, seberapa mahal biaya sekolah atau kuliah kita, jika kita merasa metode pendidikan yang kita jalani berciri-ciri seperti konsep pendidikan yang pertama, maka kita sedang berjalan mundur menuju dehumanisasi, bukan humanisasi. Kita hanya akan menjadi robot-robot penerus bangsa yang hapal sejumlah teori dan dalil namun tidak mampu memanfaatkannya untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa teori merupakan pondasi, namun proses setelah penerimaan teori adalah trigger untuk mengembangkan akal dan nalar kita. Maka, untuk memperbaiki kesemrawutan yang ada serta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai preambule UUD 1945, perlulah kiranya kita menyadari bahwa sebagai tenaga pengajar ataupun pelajar kita harus mengimplementasikan sistem yang sudah diatur sedemikian rupa dalam proses belajar mengajar sehari – hari serta mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat pada sistem yang sedang berjalan.

Penulis Dendy Dwi Rizki Gunawan

Menatap Pemilihan Raya FKG USU

2/07/2018 Add Comment
Tulisan ini adalah tulisan lama. Kala itu saya menulis tulisan ini karena melihat panasnya kontestasi pemilihan raya dikalangan Mahasiswa. Mahasiswa yang masih dalam tahap belajar saya pikir harap maklum jika terbawa emosi dalam berkompetisi. Mungkin memang begitulah karakter anak muda dengan emosi yang belum stabil. Seperti anak kecil yang bertengkar karena rebutan mainan. Mengambil istilah Rhoma Irama "Masa muda adalah masa yang berapi-api". Kiranya tulisan ini masih ada sedikit pelajaran yang bisa diambil untuk menghadapi kontestasi apapun. Kontestasi dari kalangan muda hingga kalangan tua.

bolokajiblog- Kontestasi Pemilihan Raya (PEMIRA) FKG USU pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sedang berlangsung. Semakin mendekati hari pemilihan, hingar bingar pesta demokrasi itu terdengar dimana-mana. Riuh dan gegap gempitanya sangat luar biasa, mengalahkan riuhnya para fans artis yang mengidolakan Aliando, aktor tamvan yang juga berprofesi sebagai penyanyi. Atribut kampanye seperti flyer dan spanduk tertempel disetiap sudut kampus, tak ada sedikitpun yang tidak terjamah. Bukan hanya di dunia nyata, atribut kampanye ini juga sudah merambat sampai kedunia maya. Para pendukung saban hari mengkampanyekan kandidat pilihannya. Mereka yang dulu anti sosial kini punya jiwa sosial yang tinggi, semakin ramah dan bertegur sapa; menjalin komunikasi karena ada maunya untuk mendapatkan suara pada kontestatasi PEMIRA. Mereka yang dulunya tidak aktif dimedia sosial kini menjadi aktif, yang aktif menjadi lebih aktif lagi. Ikhwal ini dilakukan tak lain dan tak bukan hanya untuk berkampanye dan hasrat ingin memenangkan kandidat masing-masing. Tak ayal hasrat ini menghasilkan reaksi negatif dengan munculnya black campaign dimana-dimana. Bukan tidak mungkin black campaign ini juga merusak sekat-sekat pertemanan, menimbulkan perpecahan dan merusak kekompakan diantara mahasiswa. Alhasil kampus bukan lagi sebagai tempat political learning tetapi sudah menjadi tempat politik praktis.
Permasalahan diatas sangat disayangkan terjadi didunia kampus yang notabene-nya berisi para mahasiswa. Mahasiswa yang berfungsi sebagai agent of change harusnya bisa membawa perubahan yang lebih baik. Jika seperti ini perpolitikan yang terjadi di dunia kampus, maka wajar saja perpolitikan di Indonesia selalu menimbulkan suasana yang tidak kondusif karena cikal bakalnya sudah tidak bagus. Menjadi pemenang PEMIRA bukan berarti harus menghalalkan segala cara termasuk melakukan black campaign. Menjelekkan sosok lawan kemudian mengaitkan dengan sisi negatif pendahulunya yang lahir dari rahim yang sama bukanlah sikap dewasa dalam berdemokrasi. Kontestasi PEMIRA harusnya menjadi moment penting dan strategis; menjadi panggung pertunjukan kualitas calon dan juga panggung bagaimana menjaga kekompakkan sesama mahasiswa. Bukan malah menjadi ajang pembusukan satu sama lain karena sudah getol sekali ingin mendapat kekuasaan.
Salah satu penilaian publik terhadap kandidat adalah kualitas diri, visi misi, dan program yang ditawarkan. Pemaparan program rasional dan irrasional menjadi penilaian dalam publik menentukan pilihan. Publik yang cerdas dan rasional akan menilai mana kandidat yang punya kualitas diri yang cerdas dalam memimpin PEMA FKG kedepan. Seorang pemimpin memang dituntut untuk cerdas. Kecerdasan dalam memimpin merupakan sesuatu yang dituntut oleh para anggotanya karena tidak akan ada pengikut yang mau dipimpin oleh pemipin yang tidak cerdas. Cerdas disini bukan hanya sebatas unggul secara intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Kecerdasan intelektual adalah kemampuan manusia dalam memecah masalah, logika, rasio, dan melahirkan gagasan atau ide-ide cemerlang. Dengan kecerdasan intelektual ini para pemimpin mampu merumuskan suatu visi misi dan program yang baik untuk kepentingan bersama. Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami emosi serta kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi ini sangat penting karena dengan komunikasi yang baik seorang pemimpin bisa mempengaruhi anggotanya. Kemampuan berkomunikasi seseorang pemimpin tidak cukup hanya sebatas keanggotanya. Pemimpin juga harus mampu berkomunikasi dengan kalangan muda maupun tua atau merangkul semua golongan sehingga dia bisa menampung aspirasi dari semua pihak dan bisa mengambil keputusan yang menguntungkan. Kecerdasan terakhir yaitu kecerdasan spiritual yang memiliki arti kemampuan seseorang dalam memahami arti hidup. Ikhwal ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Jika pemimpin selalu mengingat Tuhan disetiap aktivitasnya, pastinya pemimpin tersebut akan mengambil keputusan yang terbaik untuk orang banyak. Pada akhirnya jika kandidat memiliki kualitas diri, visi misi, dan program yang jelas pastinya akan menimbulkan ketertarikan dan rasa cinta pada publik. Kemudian rasa cinta itu akan dituangkan dalam bentuk dukungan dan memilih kandidat tersebut.
Seorang pemimpin ibarat nakhoda kapal yang membawa punggawa-punggawa didalamnya. Apakah sebuah kapal akan berlabuh didermaga dengan selamat atau malah tenggelam dilautan dalam itu tergantung bagaimana kelihaian seorang nakhoda tersebut. Jangan memilih pemimpin seperti memilih kucing dalam karung. Memilih pemimpin yang tidak pernah berbuat dan tidak berani memperjuangkan hak hak orang banyak, hanya berani berlindung dibalik tirani demi menyelamatkan diri sendiri. Kelak jika kau dapati pemimpin atau nakhoda seperti itu alamatlah kapal yang kau tumpangi akan tenggelam. Memilihlah dengan cinta yang muncul karena kualitas diri sipemimpin, bukan karena hasutan, paksaan, dan usaha seseorang untuk menjelekkan kandidat lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu memperbaiki kekurangannya dan memperbaiki kekurangan orang lain dengan pengaruh yang dia miliki. Menjelekkan orang lain tidak membuat kita terlihat lebih baik. Ingat... majulah tanpa menyingkirkan, naiklah tinggi tanpa menjatuhkan, berbahagialah tanpa menyakiti orang lain. Jika kau memilih tidak karena cinta dan melawan nuranimu, kelak kau akan merasakan penderitaan yang luar biasa. Cukuplah hayati yang merasakan penderitaan itu seumur hidupnya hingga ia mati, karena fatwa ninik mamaknya yang memintanya untuk menikah dengan Uda Aziz yang lahir dari rahim bangsawan kaya raya yang bersuku, beradat, dan berlembaga. Seandainya pada saat itu Hayati bisa bersikap tegas dengan ninik mamaknya, dia hanya perlu katakan “Mak datuk. Ula kam sangsi. Aku memilih Engku Zainuddin bukan karena suku, adat, dan lembaga tapi karena aku cinta akannya, karena kebaikan, ketulusan, dan kualitas dirinya yang tidak aku temukan pada Uda Aziz.”, jika ia bersikap seperti itu mungkin dia dan rasa cintanya tidak akan pernah tenggelam bersama kapal Van der Wijck.
Medan, 14 Desember 2017
Penulis MY
Foto diambil dari akun instagram kpufkgusu