Menatap Pemilihan Raya FKG USU

2/07/2018
Tulisan ini adalah tulisan lama. Kala itu saya menulis tulisan ini karena melihat panasnya kontestasi pemilihan raya dikalangan Mahasiswa. Mahasiswa yang masih dalam tahap belajar saya pikir harap maklum jika terbawa emosi dalam berkompetisi. Mungkin memang begitulah karakter anak muda dengan emosi yang belum stabil. Seperti anak kecil yang bertengkar karena rebutan mainan. Mengambil istilah Rhoma Irama "Masa muda adalah masa yang berapi-api". Kiranya tulisan ini masih ada sedikit pelajaran yang bisa diambil untuk menghadapi kontestasi apapun. Kontestasi dari kalangan muda hingga kalangan tua.

bolokajiblog- Kontestasi Pemilihan Raya (PEMIRA) FKG USU pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sedang berlangsung. Semakin mendekati hari pemilihan, hingar bingar pesta demokrasi itu terdengar dimana-mana. Riuh dan gegap gempitanya sangat luar biasa, mengalahkan riuhnya para fans artis yang mengidolakan Aliando, aktor tamvan yang juga berprofesi sebagai penyanyi. Atribut kampanye seperti flyer dan spanduk tertempel disetiap sudut kampus, tak ada sedikitpun yang tidak terjamah. Bukan hanya di dunia nyata, atribut kampanye ini juga sudah merambat sampai kedunia maya. Para pendukung saban hari mengkampanyekan kandidat pilihannya. Mereka yang dulu anti sosial kini punya jiwa sosial yang tinggi, semakin ramah dan bertegur sapa; menjalin komunikasi karena ada maunya untuk mendapatkan suara pada kontestatasi PEMIRA. Mereka yang dulunya tidak aktif dimedia sosial kini menjadi aktif, yang aktif menjadi lebih aktif lagi. Ikhwal ini dilakukan tak lain dan tak bukan hanya untuk berkampanye dan hasrat ingin memenangkan kandidat masing-masing. Tak ayal hasrat ini menghasilkan reaksi negatif dengan munculnya black campaign dimana-dimana. Bukan tidak mungkin black campaign ini juga merusak sekat-sekat pertemanan, menimbulkan perpecahan dan merusak kekompakan diantara mahasiswa. Alhasil kampus bukan lagi sebagai tempat political learning tetapi sudah menjadi tempat politik praktis.
Permasalahan diatas sangat disayangkan terjadi didunia kampus yang notabene-nya berisi para mahasiswa. Mahasiswa yang berfungsi sebagai agent of change harusnya bisa membawa perubahan yang lebih baik. Jika seperti ini perpolitikan yang terjadi di dunia kampus, maka wajar saja perpolitikan di Indonesia selalu menimbulkan suasana yang tidak kondusif karena cikal bakalnya sudah tidak bagus. Menjadi pemenang PEMIRA bukan berarti harus menghalalkan segala cara termasuk melakukan black campaign. Menjelekkan sosok lawan kemudian mengaitkan dengan sisi negatif pendahulunya yang lahir dari rahim yang sama bukanlah sikap dewasa dalam berdemokrasi. Kontestasi PEMIRA harusnya menjadi moment penting dan strategis; menjadi panggung pertunjukan kualitas calon dan juga panggung bagaimana menjaga kekompakkan sesama mahasiswa. Bukan malah menjadi ajang pembusukan satu sama lain karena sudah getol sekali ingin mendapat kekuasaan.
Salah satu penilaian publik terhadap kandidat adalah kualitas diri, visi misi, dan program yang ditawarkan. Pemaparan program rasional dan irrasional menjadi penilaian dalam publik menentukan pilihan. Publik yang cerdas dan rasional akan menilai mana kandidat yang punya kualitas diri yang cerdas dalam memimpin PEMA FKG kedepan. Seorang pemimpin memang dituntut untuk cerdas. Kecerdasan dalam memimpin merupakan sesuatu yang dituntut oleh para anggotanya karena tidak akan ada pengikut yang mau dipimpin oleh pemipin yang tidak cerdas. Cerdas disini bukan hanya sebatas unggul secara intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Kecerdasan intelektual adalah kemampuan manusia dalam memecah masalah, logika, rasio, dan melahirkan gagasan atau ide-ide cemerlang. Dengan kecerdasan intelektual ini para pemimpin mampu merumuskan suatu visi misi dan program yang baik untuk kepentingan bersama. Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami emosi serta kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi ini sangat penting karena dengan komunikasi yang baik seorang pemimpin bisa mempengaruhi anggotanya. Kemampuan berkomunikasi seseorang pemimpin tidak cukup hanya sebatas keanggotanya. Pemimpin juga harus mampu berkomunikasi dengan kalangan muda maupun tua atau merangkul semua golongan sehingga dia bisa menampung aspirasi dari semua pihak dan bisa mengambil keputusan yang menguntungkan. Kecerdasan terakhir yaitu kecerdasan spiritual yang memiliki arti kemampuan seseorang dalam memahami arti hidup. Ikhwal ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Jika pemimpin selalu mengingat Tuhan disetiap aktivitasnya, pastinya pemimpin tersebut akan mengambil keputusan yang terbaik untuk orang banyak. Pada akhirnya jika kandidat memiliki kualitas diri, visi misi, dan program yang jelas pastinya akan menimbulkan ketertarikan dan rasa cinta pada publik. Kemudian rasa cinta itu akan dituangkan dalam bentuk dukungan dan memilih kandidat tersebut.
Seorang pemimpin ibarat nakhoda kapal yang membawa punggawa-punggawa didalamnya. Apakah sebuah kapal akan berlabuh didermaga dengan selamat atau malah tenggelam dilautan dalam itu tergantung bagaimana kelihaian seorang nakhoda tersebut. Jangan memilih pemimpin seperti memilih kucing dalam karung. Memilih pemimpin yang tidak pernah berbuat dan tidak berani memperjuangkan hak hak orang banyak, hanya berani berlindung dibalik tirani demi menyelamatkan diri sendiri. Kelak jika kau dapati pemimpin atau nakhoda seperti itu alamatlah kapal yang kau tumpangi akan tenggelam. Memilihlah dengan cinta yang muncul karena kualitas diri sipemimpin, bukan karena hasutan, paksaan, dan usaha seseorang untuk menjelekkan kandidat lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu memperbaiki kekurangannya dan memperbaiki kekurangan orang lain dengan pengaruh yang dia miliki. Menjelekkan orang lain tidak membuat kita terlihat lebih baik. Ingat... majulah tanpa menyingkirkan, naiklah tinggi tanpa menjatuhkan, berbahagialah tanpa menyakiti orang lain. Jika kau memilih tidak karena cinta dan melawan nuranimu, kelak kau akan merasakan penderitaan yang luar biasa. Cukuplah hayati yang merasakan penderitaan itu seumur hidupnya hingga ia mati, karena fatwa ninik mamaknya yang memintanya untuk menikah dengan Uda Aziz yang lahir dari rahim bangsawan kaya raya yang bersuku, beradat, dan berlembaga. Seandainya pada saat itu Hayati bisa bersikap tegas dengan ninik mamaknya, dia hanya perlu katakan “Mak datuk. Ula kam sangsi. Aku memilih Engku Zainuddin bukan karena suku, adat, dan lembaga tapi karena aku cinta akannya, karena kebaikan, ketulusan, dan kualitas dirinya yang tidak aku temukan pada Uda Aziz.”, jika ia bersikap seperti itu mungkin dia dan rasa cintanya tidak akan pernah tenggelam bersama kapal Van der Wijck.
Medan, 14 Desember 2017
Penulis MY
Foto diambil dari akun instagram kpufkgusu

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »