Revolusi Pergerakan KOHATI dalam Membentuk Karakter Mahasiswi Muslimah Insan Cita

3/05/2018

bolokajiblog- Dalam teater hidup manusia, diskursus mengenai perempuan sudah ada sejak manusia itu dilahirkan. Baik status, tugas, hak dan juga kewajiban. Perkembangan pemikiran seiring dengan paradigma masyarakat pada masanya begitu dalam dengan berbagai masalah perempuan. Pada awalnya tugas dan perananan perempuan terbatas dalam hal “domestik” yaitu kasur, sumur, dan dapur.
Kontribusi besar perempuan sudah terlihat sejak HMI terbentuk. HMI sebagai organisasi mahasiswa islam tertua di Indonesia punya respon terhadap persoalan yang menimpa perempuan. Dimana aktivitas dan peran HMI-Wati include dalam rangkaian kegiatan organisatoris HMI dengan mengikuti dinamikanya mulai dari revolusi fisik, mempertahankan kedaulatan sampai dengan pemberontakan PKI.
Pada masa orde lama, orde baru dan reformasi, kader HMI terus meningkat. Secara kualitas, kader-kader HMI-Wati memiliki potensi yang besar untuk itu tapi budaya patriarki yang masih merambah dalam aktivitas HMI menyulitkan HMI-Wati untuk berkembang. Belum lagi pandangan tentang kiprah aktivis perempuan yang dibatasi oleh perspektif lingkungan sekitarnya pun membuat HMI-Wati makin tertinggal dalam hal kaderisasi. HMI secara organisasi memiliki konsep perkaderan yang sangat mapan dibandingkan dengan organisasi pemuda lainnya seharusnya tidak pandang bulu dalam menjalankan roda organisasi.
Pertanyaannya kenapa didalam kehidupan sosial dan bermasyarakat, perempuan jarang sekali diperhitungkan atau bahkan disepelekan? Kenapa perempuan hanya dirasa hakikatnya hanya mengurus masalah kasur, sumur, dapur (domestik) saja? Karena physically, Allah SWT. menciptakan perempuan kenyataannya lebih lemah dari laki-laki, sehingga yang terjadi kapabilitas dalam ranah publik tidak menonjol. Paradigma ini yang menyebabkan kurangnya kualitas perempuan itu sendiri. Melihat kondisi obejkif tersebut maka dibentuk lah badan khusus KOHATI didalam tubuh organisasi HMI. Mengutip perkataan Kakanda Laila Nagib (Keua Umum Badko Jawa Tengah) dalam buku HMI 1963-1966, yaitu “Menjadi sarjana yang wanita dan wanita yang sarjana” yang memiliki arti sekalipun dia sarjana, dia tetap mempertahankan fitrah sebagai perempuan, dan sekalipun dia seorang perempuan, dalam seluruh kehidupannya dia menerapkan kompetensinya sebagai sarjana. Bagaimana KOHATI di dalam naungan HMI menjadi laboratorium hidup, tempat HMI-Wati mencoba menempa segala hal, menjadi wadah latihan untuk mempersiapkan muslimah berkualitas Insan Cita sebagaimana yang tercantum dalam tujuan KOHATI.
Jika dilihat perkembangan KOHATI dari masa ke masa, tantangan KOHATI pada zaman sekarang sudah bukan masalah bagaimana memperjuangkan bangsa secara fisik, tetapi bagaimana berperang dan mempertahankan Indonesia dari perang pemikiran, dari rusaknya mental akibat tergilas perubahan zaman. Kakanda Ida Ismail (salah satu dari 5 pendiri KOHATI) pernah mengatakan saat menyampaikan materi pada forum LKK Cab.Jakpustara bahwa kita sekarang berada pada nilai-nilai dalam masyarakat, etika, dan kualitas perlahan-lahan berubah seiring perkembangan zaman. Dimana nilai-nilai budi pekerti dan pendidikan moral sudah tidak lebih penting dibandingkan nilai-nilai pengetahuan umum. “Era Layar” sedang meraja lela dan Narkotika sudah sudah menjadi hal yang lumrah. Sudah tak terbayang, apa lagi tantangan yang harus dihadapi generasi-generasi penerus bangsa selanjutnya, belum lagi menghadapi perkembangan MEA, bonus demografi dan lainnya.
Allah SWT. berfirman yang artinya:”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hedaklah mereka mengucapkan perekataan yang benar.”
Ketika anak lahir, kemudian tumbuh dan berkembang, memasuki dunia sekolah, tugas ibu tak lantas tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat mengimbangi apa yang diajarkan disekolah. Di zaman dengan perkembangan teknologi yang serba cepat, dan kebutuhan kehidupan yang semakin meningkat mengakibatkan manusia semakin tergilas dengan hal-hal “duniawi” ini yang bahkan dapat kita lihat sendiri dampaknya pada moral anak bangsa. Sehingga disinilah yang menjadi tantangan perempuan dalam mencetak generasi selanjutnya. Peran startegis demikian yang menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya karena untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas pula.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut, diharapkan KOHATI kedepannya harus benar-benar memiliki kualitas yang paripurna untuk menjaga, menjadi pengawal panji islam bagi masa depan umat islam, bangsa dan negara. Senantiasa menyadari bahwa HMI-Wati menyadari kodratnya sebagai seorang istri yang kelak akan jadi menjadi madrasatul ‘ulla bagi anak-anaknya, penyejuk bagi suaminya, dan menjadi bagian dari masyarakat dengan maksimal senantiasa bermanfaat untuk segalanya.

Penulis : Riezky Amalia Hesy Nasution, Ketua Umum KOHATI HMI Komisariat FKG USU Periode 2016-2017


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »