bolokajiblog- Dalam teater hidup manusia, diskursus
mengenai perempuan sudah ada sejak manusia itu dilahirkan. Baik status, tugas,
hak dan juga kewajiban. Perkembangan pemikiran seiring dengan paradigma masyarakat
pada masanya begitu dalam dengan berbagai masalah perempuan. Pada
awalnya tugas dan perananan perempuan terbatas dalam hal “domestik” yaitu kasur,
sumur, dan dapur.
Kontribusi
besar perempuan sudah terlihat sejak HMI terbentuk. HMI sebagai organisasi
mahasiswa islam tertua di Indonesia punya respon terhadap persoalan yang menimpa
perempuan. Dimana aktivitas dan peran HMI-Wati include dalam rangkaian kegiatan organisatoris HMI dengan mengikuti
dinamikanya mulai dari revolusi fisik, mempertahankan kedaulatan sampai dengan
pemberontakan PKI.
Pada
masa orde lama, orde baru dan reformasi, kader HMI terus meningkat. Secara
kualitas, kader-kader HMI-Wati memiliki potensi yang besar untuk itu tapi
budaya patriarki yang masih merambah dalam aktivitas HMI menyulitkan HMI-Wati
untuk berkembang. Belum lagi pandangan tentang kiprah aktivis perempuan yang
dibatasi oleh perspektif lingkungan sekitarnya pun membuat HMI-Wati makin
tertinggal dalam hal kaderisasi. HMI secara organisasi memiliki konsep
perkaderan yang sangat mapan dibandingkan dengan organisasi pemuda lainnya
seharusnya tidak pandang bulu dalam menjalankan roda organisasi.
Pertanyaannya kenapa didalam
kehidupan sosial dan bermasyarakat, perempuan jarang sekali diperhitungkan atau
bahkan disepelekan? Kenapa perempuan hanya dirasa hakikatnya hanya mengurus
masalah kasur, sumur, dapur (domestik) saja? Karena physically, Allah SWT. menciptakan perempuan kenyataannya lebih
lemah dari laki-laki, sehingga yang terjadi kapabilitas dalam ranah publik
tidak menonjol. Paradigma ini yang menyebabkan kurangnya kualitas perempuan itu
sendiri. Melihat kondisi obejkif tersebut maka dibentuk lah badan khusus KOHATI
didalam tubuh organisasi HMI. Mengutip perkataan Kakanda Laila Nagib (Keua Umum
Badko Jawa Tengah) dalam buku HMI 1963-1966, yaitu “Menjadi sarjana yang wanita
dan wanita yang sarjana” yang memiliki arti sekalipun dia
sarjana, dia tetap mempertahankan fitrah sebagai perempuan, dan sekalipun dia
seorang perempuan, dalam seluruh kehidupannya dia menerapkan kompetensinya
sebagai sarjana.
Bagaimana KOHATI di dalam naungan HMI menjadi laboratorium hidup, tempat
HMI-Wati mencoba menempa segala hal, menjadi wadah latihan untuk mempersiapkan
muslimah berkualitas Insan Cita sebagaimana yang tercantum dalam tujuan KOHATI.
Jika dilihat perkembangan KOHATI dari
masa ke masa, tantangan KOHATI pada zaman sekarang sudah bukan masalah
bagaimana memperjuangkan bangsa secara fisik, tetapi bagaimana berperang dan
mempertahankan Indonesia dari perang pemikiran, dari rusaknya mental akibat
tergilas perubahan zaman. Kakanda Ida Ismail (salah satu dari 5 pendiri KOHATI)
pernah mengatakan saat menyampaikan materi pada forum LKK Cab.Jakpustara bahwa
kita sekarang berada pada nilai-nilai dalam masyarakat, etika, dan kualitas
perlahan-lahan berubah seiring perkembangan zaman. Dimana nilai-nilai budi
pekerti dan pendidikan moral sudah tidak lebih penting dibandingkan nilai-nilai
pengetahuan umum. “Era Layar” sedang meraja lela dan Narkotika sudah sudah
menjadi hal yang lumrah. Sudah tak terbayang, apa lagi tantangan yang harus
dihadapi generasi-generasi penerus bangsa selanjutnya, belum lagi menghadapi
perkembangan MEA, bonus demografi dan lainnya.
Allah
SWT. berfirman yang artinya:”Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hedaklah mereka mengucapkan perekataan yang benar.”
Ketika
anak lahir, kemudian tumbuh dan berkembang, memasuki dunia sekolah, tugas ibu
tak lantas tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat
mengimbangi apa yang diajarkan disekolah. Di zaman dengan perkembangan
teknologi yang serba cepat, dan kebutuhan kehidupan yang semakin meningkat
mengakibatkan manusia semakin tergilas dengan hal-hal “duniawi” ini yang bahkan
dapat kita lihat sendiri dampaknya pada moral anak bangsa. Sehingga disinilah
yang menjadi tantangan perempuan dalam mencetak generasi selanjutnya. Peran
startegis demikian yang menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan ilmu
yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya karena
untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas
pula.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut,
diharapkan KOHATI kedepannya harus benar-benar memiliki kualitas yang paripurna
untuk menjaga, menjadi pengawal panji islam bagi masa depan umat islam, bangsa
dan negara. Senantiasa menyadari bahwa HMI-Wati menyadari kodratnya sebagai
seorang istri yang kelak akan jadi menjadi madrasatul
‘ulla bagi anak-anaknya, penyejuk bagi suaminya, dan menjadi bagian dari
masyarakat dengan maksimal senantiasa bermanfaat untuk segalanya.
Penulis : Riezky Amalia Hesy Nasution, Ketua Umum KOHATI HMI Komisariat FKG USU Periode 2016-2017
EmoticonEmoticon