bolokaji-Pada kesempatan kali ini, izinkan
Penulis menuangkan hasil kontemplasi dan perenungan mendalamnya tentang
aktvitas-aktivitas kehidupan yang terjadi saat berlangsungnya bulan 'Ramadhan'.
Pengambilan istilah 'Ramadhan' sebagai tema tulisan ini menandakan pembahasan
kali ini tidak hanya berkutat di sekitar tradisi puasa. Dimana bisa dipastikan
tulisan ini tidak dalam rangka 'mendobrak kemapanan' yang ada, tetapi mencoba
mencari 'makna-makna lain' dari proses-proses tersebut, yang pada akhirnya
-setidaknya- secara pribadi, Penulis jadi menemukan 'anugrah yang hilang' di
bulan ini, dan dalam konteks kolektif, hal ini menjadi 'share' dan tentunya
layak untuk diperbincangkan dan semoga-moga berimplikasi meningkatkan kualitas
Ramadhan kita (baca: Ummat Islam).
Antara Psiko dan Sosial
Dua target mendasar ini menjadi
kata-kunci dari 'muzakarah' ini. Mengapa demikian? Konon, Islam dianggap
sebagai jalan tengah antara kapitalisme (individualis) dan sosialisme
(kolektivitas). Islam senantiasa memotivasi manusia mendapatkan yang terbaik
untuk dirinya inheren sekelilingnya. Islam 'rahmatal lil 'alamin' mensinyalkan
parameter-parameter kebaikan seseorang tidak terlepas dari peran sosialnya. Di
Alquran termaktub hablum minallah selalu hadir berbarengan dengan hablum
minannas. Sampai-sampai Rasul menegaskan manusia terbaik adalah yang paling
bermanfaat buat manusia lainnya. Pun di Hadis lain diterangkan tentang
pengakuan palsu orang-orang beriman jika mereka tidak mencintai saudara seperti
mereka mencintai diri sendiri. Begitu juga dengan peringatan Rasul "kita
tidak akan mencium bau syurga jika tidur dalam kekenyangan tetapi tetangga kita
tidur dalam kelaparan". Ikatan antara yang satu dengan yang lainnya,
persatuan, kerjasama, saling memahami, bertoleransi, saling membantu dan peduli
adalah instruksi-instruksi Allah yang menjadi aturan ummat Islam menjalankan
fungsi-fungsi kemanusiaannya di muka bumi. Oleh karena itu, adalah keharusan
apapun 'rutinitas' kita, apalagi yang ianya bernilai 'ibadah' sewajarnya
berdimensikan transformatif, yaitu sesuatu yang berdaya-gerak mengintegrasikan
individu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sehingga
'setting'-nya adalah sublimasi sistem antara psiko dan sosial.
Dalam bahasa yang sederhana, ibadah
kita adalah psiko-sistem sekaligus sosial-sistem. Jika 'aqimus shalah' diterjemahkan
melaksanakan shalat, maka otomatis pekerjaan itu dalam rangka kepentingan
individu, sebagai kewajiban, menambah pahala vis a vis takut dosa. Jadi dimana
berdampak sosialnya? Dalam perkembangannya kajian tentang shalat ternyata bukan
sekedar melaksanakan tetapi menegakkan (aqimu berasal dari kata qum = tegak),
sehingga proses ''tanha 'anil fakhsyai walmunkar" otomatis menjadi budaya
orang yang shalat. Itu contoh sublimasi tadi. Lantas bagaimana dengan yang
lain? Zakat atau Haji? Jika kita coba refleksikan, sepertinya juga nyaris sama.
Bahwa proses tersebut kita lakukan -tidak lain tidak bukan- untuk menyelamatkan
diri kita dari siksa Tuhan, yang sebenarnya jika kita lihat keseluruhan
pendekatan ayat, semua proses tersebut adalah dalam rangka kemashlahatan ummat.
Bukankah Zakat diperagakan Rasul untuk menuntaskan kemiskinan? Pun kita tahu
bersama bahwa evaluasi mabrurnya Haji seseorang adalah keshalehan sosialnya,
yakni menjadi seorang agen perubahan masyarakat. Analogi mendapatkan pahala
1000 adalah indikasi seorang yang sudah ber-Haji mampu menyadarkan 1000 orang
untuk bersama menyebarkan kebaikan, lebih 'dahsyat' dari kualitas shalat yang
berpahala 27, yang mampu 'menggerakkan' 27 orang di sekitarnya melakukan
pembebasan dari keji dan munkar. Lantas bagaimana dengan Puasa sendiri yang
Penulis lebih ingin menyebutnya dengan Shaum, bukan puasa? Inilah yang akan
kita kaji bersama.
Antara Shaum dan Puasa
Akulturasi adalah pilihan strategi
yang diterapkan Islam untuk masuk ke Nusantara di periode awal. Satu sisi
positif, karena proses infiltrasi berlangsung damai, namun 'harus diakui'
menyisakan problem untuk periode berikutnya. Problem itu sering disebut
'distorsi hermeneutika'. Kita tahu Hindu dan Budha adalah penguasa Indonesia
jauh sebelum Islam datang sehingga banyak pokok ajaran agama tersebut
'terkondisikan' menjadi tradisi di daerah-daerah terutama kawasan Jawa. Dalam
perjalanan selanjutnya masuklah Islam mewarnai dinamika kehidupan masyarakat,
diterima dengan baik, namun tetap tidak berhasil mengikis habis tradisi tadi.
Alhasil 'sinkretisasi' menjadi jalan tengah untuk melakukan perubahan. Ijtihad
ini dianggap salah satu model dakwah agar Islam yang arab-oriented
berkesinambungan perkembangannya dan selaras dengan tradisi yang
sangsekerta-oriented'. Jika dipikir-pikir ini terkesannya sepele, tapi ternyata
menimbulkan fenomena-fenomena perubahan makna ajaran Islam itu termasuk dalam
aplikasinya. Sebut saja 'shalat' yang diartikan sembahyang atau 'din' yang
diartikan agama. Ibadah diartikan menyembah. Bukankah sangat mumpuni terjadi
bias maksud dari yang diinginkan akibat perubahan redaksi tersebut?
Begitupun juga halnya dengan puasa.
Secara etimologi, puasa adalah menahan makan. Lantas apakah shaum jadinya
sesimple itu? Dimensi sosial apa yang menjadi target dari proses tersebut? Atau
jika ianya pembinaan seperti ungkapan Rasul tentang bunyanul Islam, model yang
bagaimana sih pembinaan shaum itu? Kok bisa dengan hanya menahan makan dan
minum manusia menjadi bertaqwa? Lantas apa ada hubungan dengan Ramadhan yang di
dalamnya diturunkan Alquran, dengan tarawih plus tadarrus ? Semua pasti ada
jawabannya jika kita bersepakat bahwa ritual puasa yang hari ini dilakoni
kebanyakan kita adalah hanya sebagian kecil dari aktivitas shaum itu. Wajar
kemudian out-put taqwa tidak didapat dan kalaupun ada ketaqwaan yang dihasilkan
ternyata juga berkarakter nafsi-nafsi, yang jika ditilik informasi dari kitab
suci tentang taqwa ternyata semuanya berdimensi sosial. Artinya seseorang
dianggap sukses shaumnya jika ia juga mampu menunjukkan 'asset-sosialnya'?
Lantas bagaimana? Karena apapun ceritanya dalam beberapa dasarwarsa terakhir
'puasa" hanya menjadi agenda tahunan ummat Islam, terus berlangsung tanpa
adanya muhasabah, sehingga tidak ada skenario menjadikan Islam yang lebih baik,
dimana Rasul pernah mencontohkan bestek shaum dan Ramadhan sebagai momen
merancang target-target yang harus dicapai mereka minimal dalam jangka waktu 11
bulan berikutnya dan tentunya dievaluasi Rasul (bersama sahabat) di Ramadhan
tahun depan.
Hal ini bisa 'sedikit' dituntaskan
jika pada dasarnya kita mampu menghubungkan sekaligus mengintegrasikan antara
Shaum dan Ramadhan tersebut. Saya coba ulas tentang Ramadhan dulu. Secara
bahasa bermakna "panas". Dengan menggunakan pendekatan sejarah, para
penafsir mendefiniskan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Alquran. Apa maksud
bahasa diturunkan? Ke siapa yang mendapatkannya? Bagaimana caranya? Ini bisa
dijawab jika kita terlebih dahulu meng'amini' bahwa 'Alquran sudah khatam untuk
Muhammad Rasulullah' tapi belum buat kita? Maksudnya begini bahwa kalaupun kita
sudah beberapa kali mengkhatamkan Alquran, akan tetapi kita ternyata belum
menginternalisasinya menjadi kesadaran apalagi berakhlaq-kannya yang
diibaratkan dengan Alquran berjalan (Hadis). Kesadaran yang dimaksud adalah
hudal linnas wa bayyinatim minal huda wal furqon (Qs.2:185). Dengan pendekatan
ini, maka menjadi terjawablah saat Ramadhan berkesempatan menjadi momen Alquran
harus diturunkan atau diajarkan kepada manusia (awwaluhu rahmah) sesuai dengan
kesanggupan mereka mana ayat-ayat yang siap dipanggungkan untuk periode
kehidupan berikutnya. Jika sudah begini, bisa dipastikan evaluasi terukur
(awsatuhu maghfiroh) dan proyeksi terpadu sehingga 'akhiruhu itqum minan nar
berjalan setiap tahun.
Di dalam Ramadhan berlangsunglah
shaum. Ditinjau etimologinya, shaum berarti imsak (menahan) dan istawa
(menyetimbangkan). Apa sih yang ditahan dan disetimbangkan? Tentunya tidak
sekedar puasa dan diri (psiko), harus lebih dari itu. Saat siang Ramadhan ummat
Islam diharamkan makan, minum dan melakukan hubungan sex adalah gambaran bahwa
kita harus menahan diri dari segala faktor organis biologis (kebutuhan perut
dan bawah perut, maaf) sehingga menyebabkan kita tidak bertaqwa. Hal ini akan
diperoleh jika memang yang mem-pola dan mengendalilan diri kita adalah wahyu
yang telah meresap jauh ke dalam sanubari. Adapun istawa adalah sinonim dari
taqwa itu sendiri sehingga menjadi kemutlakan para 'shaimun' otomatis muttaqin,
tidak mudah-mudahan (kecenderungan nisbi). Seperti telah disebutkan di awal,
keseluruhan informasi tentang taqwa adalah berbicara kemampuan menyelesaikan
problem hidup dan kehidupan 'our-community' dengan 'cara Tuhan' tadi. Alhasil,
pasca shaum dan Ramadhan tentunya kita mendapatkan 'ketetapan baru' yang harus
diperistiwakan dalam rangka kerja-kerja kekhalifaan manusia.
Antara Qiro'atil, Tahsinul dan Tadarrus Alquran
Qiro'at Alquran sering diartikan
dengan membaca Alquran. Teknis ini serupa dengan tahsin yang bermakna
memperbaiki bacaan termasuk di dalamnya belajar tajwid dan melagukannya (ghina
Alquran). Maka pertanyaan sederhananya apakah tadarrus juga bermakna yang sama?
Realita yang terjadi seakan-akan ritual Ramadhan ini berubah 'tanpa-sadar' dari
tadarrus menjadi sekedar qiro'at dan tahsin (baca: membaca Alquran) dan di
malam ke-27 mengkhatamkannya. Alhasil pengertian tadarrus Alquran menjadi
kabur. Dalam bahasa yang lain, Penulis menyebutnya dengan 'reduksi
hermeneutika'- ada makna yang hilang dari perubahan istilah, yang otomatis mengurangi
target dari proses yang dilakukan. Kita pasti tahu membaca Alquran senantiasa
berlangsung sepanjang hayat, namun tetap 'istimewa-nya' malam Ramadhan adalah
melakukan tadarrus. Lantas apa tadarrus itu?
Secara etimologi, istilah ini
terambil dari kata yang sama dengan 'madrasah' yaitu darasa yang berarti
belajar. Maka wajarlah pengertian madrasah menjadi tempat belajar (sekolah) dan
karenanya tadarrus Alquran bermakna mempelajari Alquran, baik secara individu
maupun bersama-sama. Dalam konteks ayat, ada yang menyebutkannya gamblang:
Qs.3:79 "...Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani , karena kamu
selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya
(tadrusun)". Istilah tadarrus di ayat tersebut dimaknai dengan mempelajari.
Dengan pendekatan ini, sudilah kiranya sebagian kita ummat Islam mengondisikan
menuju proses ini sehingga ibadah lail kita adalah sudah pada tahap mempelajari
kandungan Alquran. Jadi bukan sekedar berlomba-lomba siapa yang duluan tamat,
akan tetapi tidak memahami apa yang sudah dibaca konon lagi mau berbicara
tentang menjadikannya sebagai 'hukum'. Begitulah realitanya.
Tapi pembahasan ini belum boleh
berhenti di sini. Pertanyaan lanjutannya adalah yang mana dari Alquran tersebut
yang harus dipelajari? Apakah semuanya diselesaikan di Ramadhan? Pastilah tidak
mungkin karena keterbatasan kemampuan manusia plus permintaan Alquran sendiri
yang berkeinginan agar kita memahaminya dengan berangsur-angsur (pelajari
Qs.25:32). Jika begitu berdasasrkan skala prioritas? Apa parameternya? Tugas
para generasi Rabbani menjawabnya?....
Selayang Pandang "Tarawih"
Banyak dari kita yang belum
mengetahui arti tarawih. Secara bahasa ternyata berdefinisikan istirahat.
Pengertian ini juga mengalami penguatan di Hadis yang menjelaskan tentang
aktivitas Rasul pasca berbuka puasa adalah tarawih (yang diterjemahkan dengan
istirahat) baru kemudian Beliau melakukan shalat 'lail'. Mungkin atas dasar
inilah beberapa kalangan belakangan ini mewacanakan nama shalat tarawih diganti
saja dengan shalat 'malam'. Tapi terlepaslah 'perbedaan' itu, Penulis lebih
bermaksud mengkajinya secara substantif: dari ritual menuju transformatif.
Sebuah pendekatan tentang 'menegakkan' shalat bukan sekedar melaksanakannya.
Dalam konteks kewajiban yang fardhu sebagai seorang pribadi, sang Rabb meminta
kita mentransformasi gerakan-gerakan shalat menjadi nilai di seluruh sendi
kehidupan. Bagaimana dengan shalat berjama'ah? Berarti perintah sosialnya lebih
tegas, bahwa ternyata kita (baca: orang yang sudah shalat bagaimanapun
teknisnya) harus memang bersama-sama mengaplikasikan sistem shalat di
keseharian. Sekarang tinggal bagaimana 'mengungkap' mulai dari takbiratul ihram
sampai mengucapkan salam ke kanan-kiri tanda berakhirnya ritual tersebut? Tentu
ini tidaklah mudah karena modelnya sudah harus mempertemukan 'tafsir' yang
tekstual dengan kontekstual. Hemat Penulis semua rangkaian gerakan tadi punya
'goal' untuk menyelamatkan (mengucap salam) orang-orang di sekelilingnya (ke
kanan dan ke kiri).
Lantas bagaimana dengan tarawih
sendiri? Secara singkat kalaupun ianya ibadah 'sunnah' tapi tetap prinsip
shalat tadi didapat. Perbedaannya adalah momen Ramadhan harus menjadi agenda
menyatukan kesadaran ummat Islam kemudian dengan kuantitas 8 (plus 3 dengan
witir) ataupun 20 (juga plus 3 dengan witir) sebagai upaya mengkonsolidasikan
kekuatan ummat tadi.
Sedikit tentang Nuzul Alquran dan
Lailatul Qadar
Nuzul Alquran ditetapkan pada 17
Ramadhan sedangkan Lailatul Qadar jatuh pada salah satu malam ganjil 10 hari
terakhir, biasanya pada malam ke-27. Sebelum kita bahas lebih lanjut, yang
perlu ditanyakan adalah mengapa namanya sama-sama turunnya Alquran tetapi
terjadinya di malam yang berbeda? Hal ini bisa terjawab jika pengertian kedua
'peristiwa' ini bisa dipertegas. Sering disebut Nuzul Alquran ini dengan malam
turunnya ke Alquran. Maksud turun ini apa? Kitab (buku) nya turun ke bumi atau
ke Muhammad? Lantas apakah sudah turun ke kita yang kita memperingatinya setiap
tahun? Satu ayat turunnya atau semuanya sekaligus? Nabi saja pun menerimanya
nyaris 22 tahun. Biasanya akan dijawab di malam ke 17 ini ayat yang pertama
turun, yakni QS: Alaq: 1-5 (perintah Iqro). Okelah jika pendekatan ini bisa
diterima tentu turun di sini adalah diajarkan kepada Muhammad. Maka kapan yang
ke kita diajarkan kali pertama? Bukan belajar membacanya tetapi memahaminya
yang sesuai dengan maksud Tuhan.
Bagaimana dengan Lailatul Qadar?
Dalam hikayat diceritakan kejadian-kejadian 'luar-biasa' sebagai tanda malam
tersebut sedang terjadi Lailatul Qadar mulai dari pohon tunduk dan air sungai
yang membeku. Namun saat cerita tersebut dikonfirmasi ternyata tidak dapat
siapa periwayatnya dan seluk beluknya semua. Kalaulah disebutkan jatuh pada
malam ke-27 yang malaikat-malaikat datang untuk mengatur segala urusan, waktu
negara manakah yang digunakan? Bukankah ada perbedaan waktu yang signifikan
antar negera-negara di dunia yang jika di sebuah wilayah malam ke-27 bisa
dipastikan di tempat lain malam ke-26 atau ke-28, atau masih sore atau juga
masih pagi? Jadi bagaimana ukurannya? Sebagai komparatif terakhir, nilai malam
ini lebih baik dari 1000 bulan ini. Hemat penulis, ini bukan soal mendapatkan
'pahala' setara 1000 bulan beribadah karena itu hak preogratif Allah tetapi
kualitas hidup dan kehidupan manusia yang di'pola' wahyu akan bernilai lebih
baik dari setting yang tidak berlandaskan Alquran. Kehidupan wahyu ini tidak
akan mampu dicapai oleh 'pola-pikir manusia' nyaris lebih dari 1000 bulan atau
83 tahun.
Ramadhan yang Paradoks
Sebuah 'paradoks adalah sebuah
pernyataan yang betul atau sekelompok pernyataan yang menuju ke sebuah
kontradiksi atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi. Kita
berharap Ramadhan membina kesederhanaan kita, ternyata menjadi bulan berlebihan
kita. Mulai dari berbuka puasa dengan berbagai hidangan yang tidak cukup satu,
sampai ifthor jama'i yang senantiasa ramai di restoran, cafe atau pondok-pondok
makanan. Nyaris terjadi di setiap menjelang Maghrib Kita juga ingin Ramadhan
melatih 'sosial' kita, malah realita menunjukkan sikap, gaya hidup dan perilaku
individualis kita. Bukankah pengeluaran bulanan kita makin banyak plus
persiapan Hari-Raya yang memerlukan banyak uang sekaligus pamer kegengsian.
Bukankah juga ibadah kita hanya mengejar 'pahala-berlimpah' sebagai bekal
pribadi di hari 'hisab' sehingga menjadi kewajaran pasca-nya Masjid-Masjid akan
kembali sepi dari Jama'ah dan majelis-majelis ta'lim akan bubar sendirinya.
Pada akhirnya, predikat manusia taqwa hanya menjadi hiasan kitab suci sekaligus
utopia bagi kebanyakan ummat Islam sehingga nyaris tidak ada perbedaan kita
antara sebelum dengan setelah Ramadhan. Batas-batas keshalehan tetap kabur,
gurita Jahiliyah tetap mengiringi, kemunduran, alienasi dan stagnasi terus
menghantui. Pun persatuan ummat seperti panggang jauh dari api dan Ramadhan
berlalu begitu saja, yang terkenang hanya lapar dan dahaga.
Penutup
Inginnya Penulis memaparkan lebih
banyak fenomena yang terjadi di keseharian Ramadhan yang membuat gelisah, geram
sekaligus menyayangkan mengapa hal itu bisa terjadi. Yang saat seharusnya
Ramadhan mampu menjadi momentum perubahan ummat Islam tetapi terakhir hanya
menjadi agenda tahunan dan berlalu begitu saja. Sejatinya Ramadhan kita
bernilai transormatif karena suka atau tidak suka Alquranlah yang memintanya
seperti itu.
Wallahua'lam.
Ditulis oleh Instruktur Senior HMI Cabang Medan, Khalid Bardady Lubis
Foto diambil dari https://haloponsel.com