Tampilkan postingan dengan label Keislaman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keislaman. Tampilkan semua postingan

Ramadhan Transformatif

5/18/2018 Add Comment

bolokaji-Pada kesempatan kali ini, izinkan Penulis menuangkan hasil kontemplasi dan perenungan mendalamnya tentang aktvitas-aktivitas kehidupan yang terjadi saat berlangsungnya bulan 'Ramadhan'. Pengambilan istilah 'Ramadhan' sebagai tema tulisan ini menandakan pembahasan kali ini tidak hanya berkutat di sekitar tradisi puasa. Dimana bisa dipastikan tulisan ini tidak dalam rangka 'mendobrak kemapanan' yang ada, tetapi mencoba mencari 'makna-makna lain' dari proses-proses tersebut, yang pada akhirnya -setidaknya- secara pribadi, Penulis jadi menemukan 'anugrah yang hilang' di bulan ini, dan dalam konteks kolektif, hal ini menjadi 'share' dan tentunya layak untuk diperbincangkan dan semoga-moga berimplikasi meningkatkan kualitas Ramadhan kita (baca: Ummat Islam).
Antara Psiko dan Sosial
Dua target mendasar ini menjadi kata-kunci dari 'muzakarah' ini. Mengapa demikian? Konon, Islam dianggap sebagai jalan tengah antara kapitalisme (individualis) dan sosialisme (kolektivitas). Islam senantiasa memotivasi manusia mendapatkan yang terbaik untuk dirinya inheren sekelilingnya. Islam 'rahmatal lil 'alamin' mensinyalkan parameter-parameter kebaikan seseorang tidak terlepas dari peran sosialnya. Di Alquran termaktub hablum minallah selalu hadir berbarengan dengan hablum minannas. Sampai-sampai Rasul menegaskan manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat buat manusia lainnya. Pun di Hadis lain diterangkan tentang pengakuan palsu orang-orang beriman jika mereka tidak mencintai saudara seperti mereka mencintai diri sendiri. Begitu juga dengan peringatan Rasul "kita tidak akan mencium bau syurga jika tidur dalam kekenyangan tetapi tetangga kita tidur dalam kelaparan". Ikatan antara yang satu dengan yang lainnya, persatuan, kerjasama, saling memahami, bertoleransi, saling membantu dan peduli adalah instruksi-instruksi Allah yang menjadi aturan ummat Islam menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaannya di muka bumi. Oleh karena itu, adalah keharusan apapun 'rutinitas' kita, apalagi yang ianya bernilai 'ibadah' sewajarnya berdimensikan transformatif, yaitu sesuatu yang berdaya-gerak mengintegrasikan individu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sehingga 'setting'-nya adalah sublimasi sistem antara psiko dan sosial.
Dalam bahasa yang sederhana, ibadah kita adalah psiko-sistem sekaligus sosial-sistem. Jika 'aqimus shalah' diterjemahkan melaksanakan shalat, maka otomatis pekerjaan itu dalam rangka kepentingan individu, sebagai kewajiban, menambah pahala vis a vis takut dosa. Jadi dimana berdampak sosialnya? Dalam perkembangannya kajian tentang shalat ternyata bukan sekedar melaksanakan tetapi menegakkan (aqimu berasal dari kata qum = tegak), sehingga proses ''tanha 'anil fakhsyai walmunkar" otomatis menjadi budaya orang yang shalat. Itu contoh sublimasi tadi. Lantas bagaimana dengan yang lain? Zakat atau Haji? Jika kita coba refleksikan, sepertinya juga nyaris sama. Bahwa proses tersebut kita lakukan -tidak lain tidak bukan- untuk menyelamatkan diri kita dari siksa Tuhan, yang sebenarnya jika kita lihat keseluruhan pendekatan ayat, semua proses tersebut adalah dalam rangka kemashlahatan ummat. Bukankah Zakat diperagakan Rasul untuk menuntaskan kemiskinan? Pun kita tahu bersama bahwa evaluasi mabrurnya Haji seseorang adalah keshalehan sosialnya, yakni menjadi seorang agen perubahan masyarakat. Analogi mendapatkan pahala 1000 adalah indikasi seorang yang sudah ber-Haji mampu menyadarkan 1000 orang untuk bersama menyebarkan kebaikan, lebih 'dahsyat' dari kualitas shalat yang berpahala 27, yang mampu 'menggerakkan' 27 orang di sekitarnya melakukan pembebasan dari keji dan munkar. Lantas bagaimana dengan Puasa sendiri yang Penulis lebih ingin menyebutnya dengan Shaum, bukan puasa? Inilah yang akan kita kaji bersama.
Antara Shaum dan Puasa
Akulturasi adalah pilihan strategi yang diterapkan Islam untuk masuk ke Nusantara di periode awal. Satu sisi positif, karena proses infiltrasi berlangsung damai, namun 'harus diakui' menyisakan problem untuk periode berikutnya. Problem itu sering disebut 'distorsi hermeneutika'. Kita tahu Hindu dan Budha adalah penguasa Indonesia jauh sebelum Islam datang sehingga banyak pokok ajaran agama tersebut 'terkondisikan' menjadi tradisi di daerah-daerah terutama kawasan Jawa. Dalam perjalanan selanjutnya masuklah Islam mewarnai dinamika kehidupan masyarakat, diterima dengan baik, namun tetap tidak berhasil mengikis habis tradisi tadi. Alhasil 'sinkretisasi' menjadi jalan tengah untuk melakukan perubahan. Ijtihad ini dianggap salah satu model dakwah agar Islam yang arab-oriented berkesinambungan perkembangannya dan selaras dengan tradisi yang sangsekerta-oriented'. Jika dipikir-pikir ini terkesannya sepele, tapi ternyata menimbulkan fenomena-fenomena perubahan makna ajaran Islam itu termasuk dalam aplikasinya. Sebut saja 'shalat' yang diartikan sembahyang atau 'din' yang diartikan agama. Ibadah diartikan menyembah. Bukankah sangat mumpuni terjadi bias maksud dari yang diinginkan akibat perubahan redaksi tersebut?
Begitupun juga halnya dengan puasa. Secara etimologi, puasa adalah menahan makan. Lantas apakah shaum jadinya sesimple itu? Dimensi sosial apa yang menjadi target dari proses tersebut? Atau jika ianya pembinaan seperti ungkapan Rasul tentang bunyanul Islam, model yang bagaimana sih pembinaan shaum itu? Kok bisa dengan hanya menahan makan dan minum manusia menjadi bertaqwa? Lantas apa ada hubungan dengan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Alquran, dengan tarawih plus tadarrus ? Semua pasti ada jawabannya jika kita bersepakat bahwa ritual puasa yang hari ini dilakoni kebanyakan kita adalah hanya sebagian kecil dari aktivitas shaum itu. Wajar kemudian out-put taqwa tidak didapat dan kalaupun ada ketaqwaan yang dihasilkan ternyata juga berkarakter nafsi-nafsi, yang jika ditilik informasi dari kitab suci tentang taqwa ternyata semuanya berdimensi sosial. Artinya seseorang dianggap sukses shaumnya jika ia juga mampu menunjukkan 'asset-sosialnya'? Lantas bagaimana? Karena apapun ceritanya dalam beberapa dasarwarsa terakhir 'puasa" hanya menjadi agenda tahunan ummat Islam, terus berlangsung tanpa adanya muhasabah, sehingga tidak ada skenario menjadikan Islam yang lebih baik, dimana Rasul pernah mencontohkan bestek shaum dan Ramadhan sebagai momen merancang target-target yang harus dicapai mereka minimal dalam jangka waktu 11 bulan berikutnya dan tentunya dievaluasi Rasul (bersama sahabat) di Ramadhan tahun depan.
Hal ini bisa 'sedikit' dituntaskan jika pada dasarnya kita mampu menghubungkan sekaligus mengintegrasikan antara Shaum dan Ramadhan tersebut. Saya coba ulas tentang Ramadhan dulu. Secara bahasa bermakna "panas". Dengan menggunakan pendekatan sejarah, para penafsir mendefiniskan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Alquran. Apa maksud bahasa diturunkan? Ke siapa yang mendapatkannya? Bagaimana caranya? Ini bisa dijawab jika kita terlebih dahulu meng'amini' bahwa 'Alquran sudah khatam untuk Muhammad Rasulullah' tapi belum buat kita? Maksudnya begini bahwa kalaupun kita sudah beberapa kali mengkhatamkan Alquran, akan tetapi kita ternyata belum menginternalisasinya menjadi kesadaran apalagi berakhlaq-kannya yang diibaratkan dengan Alquran berjalan (Hadis). Kesadaran yang dimaksud adalah hudal linnas wa bayyinatim minal huda wal furqon (Qs.2:185). Dengan pendekatan ini, maka menjadi terjawablah saat Ramadhan berkesempatan menjadi momen Alquran harus diturunkan atau diajarkan kepada manusia (awwaluhu rahmah) sesuai dengan kesanggupan mereka mana ayat-ayat yang siap dipanggungkan untuk periode kehidupan berikutnya. Jika sudah begini, bisa dipastikan evaluasi terukur (awsatuhu maghfiroh) dan proyeksi terpadu sehingga 'akhiruhu itqum minan nar berjalan setiap tahun.
Di dalam Ramadhan berlangsunglah shaum. Ditinjau etimologinya, shaum berarti imsak (menahan) dan istawa (menyetimbangkan). Apa sih yang ditahan dan disetimbangkan? Tentunya tidak sekedar puasa dan diri (psiko), harus lebih dari itu. Saat siang Ramadhan ummat Islam diharamkan makan, minum dan melakukan hubungan sex adalah gambaran bahwa kita harus menahan diri dari segala faktor organis biologis (kebutuhan perut dan bawah perut, maaf) sehingga menyebabkan kita tidak bertaqwa. Hal ini akan diperoleh jika memang yang mem-pola dan mengendalilan diri kita adalah wahyu yang telah meresap jauh ke dalam sanubari. Adapun istawa adalah sinonim dari taqwa itu sendiri sehingga menjadi kemutlakan para 'shaimun' otomatis muttaqin, tidak mudah-mudahan (kecenderungan nisbi). Seperti telah disebutkan di awal, keseluruhan informasi tentang taqwa adalah berbicara kemampuan menyelesaikan problem hidup dan kehidupan 'our-community' dengan 'cara Tuhan' tadi. Alhasil, pasca shaum dan Ramadhan tentunya kita mendapatkan 'ketetapan baru' yang harus diperistiwakan dalam rangka kerja-kerja kekhalifaan manusia.
Antara Qiro'atil, Tahsinul dan Tadarrus Alquran
Qiro'at Alquran sering diartikan dengan membaca Alquran. Teknis ini serupa dengan tahsin yang bermakna memperbaiki bacaan termasuk di dalamnya belajar tajwid dan melagukannya (ghina Alquran). Maka pertanyaan sederhananya apakah tadarrus juga bermakna yang sama? Realita yang terjadi seakan-akan ritual Ramadhan ini berubah 'tanpa-sadar' dari tadarrus menjadi sekedar qiro'at dan tahsin (baca: membaca Alquran) dan di malam ke-27 mengkhatamkannya. Alhasil pengertian tadarrus Alquran menjadi kabur. Dalam bahasa yang lain, Penulis menyebutnya dengan 'reduksi hermeneutika'- ada makna yang hilang dari perubahan istilah, yang otomatis mengurangi target dari proses yang dilakukan. Kita pasti tahu membaca Alquran senantiasa berlangsung sepanjang hayat, namun tetap 'istimewa-nya' malam Ramadhan adalah melakukan tadarrus. Lantas apa tadarrus itu?
Secara etimologi, istilah ini terambil dari kata yang sama dengan 'madrasah' yaitu darasa yang berarti belajar. Maka wajarlah pengertian madrasah menjadi tempat belajar (sekolah) dan karenanya tadarrus Alquran bermakna mempelajari Alquran, baik secara individu maupun bersama-sama. Dalam konteks ayat, ada yang menyebutkannya gamblang: Qs.3:79 "...Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya (tadrusun)". Istilah tadarrus di ayat tersebut dimaknai dengan mempelajari. Dengan pendekatan ini, sudilah kiranya sebagian kita ummat Islam mengondisikan menuju proses ini sehingga ibadah lail kita adalah sudah pada tahap mempelajari kandungan Alquran. Jadi bukan sekedar berlomba-lomba siapa yang duluan tamat, akan tetapi tidak memahami apa yang sudah dibaca konon lagi mau berbicara tentang menjadikannya sebagai 'hukum'. Begitulah realitanya.
Tapi pembahasan ini belum boleh berhenti di sini. Pertanyaan lanjutannya adalah yang mana dari Alquran tersebut yang harus dipelajari? Apakah semuanya diselesaikan di Ramadhan? Pastilah tidak mungkin karena keterbatasan kemampuan manusia plus permintaan Alquran sendiri yang berkeinginan agar kita memahaminya dengan berangsur-angsur (pelajari Qs.25:32). Jika begitu berdasasrkan skala prioritas? Apa parameternya? Tugas para generasi Rabbani menjawabnya?....
Selayang Pandang "Tarawih"
Banyak dari kita yang belum mengetahui arti tarawih. Secara bahasa ternyata berdefinisikan istirahat. Pengertian ini juga mengalami penguatan di Hadis yang menjelaskan tentang aktivitas Rasul pasca berbuka puasa adalah tarawih (yang diterjemahkan dengan istirahat) baru kemudian Beliau melakukan shalat 'lail'. Mungkin atas dasar inilah beberapa kalangan belakangan ini mewacanakan nama shalat tarawih diganti saja dengan shalat 'malam'. Tapi terlepaslah 'perbedaan' itu, Penulis lebih bermaksud mengkajinya secara substantif: dari ritual menuju transformatif. Sebuah pendekatan tentang 'menegakkan' shalat bukan sekedar melaksanakannya. Dalam konteks kewajiban yang fardhu sebagai seorang pribadi, sang Rabb meminta kita mentransformasi gerakan-gerakan shalat menjadi nilai di seluruh sendi kehidupan. Bagaimana dengan shalat berjama'ah? Berarti perintah sosialnya lebih tegas, bahwa ternyata kita (baca: orang yang sudah shalat bagaimanapun teknisnya) harus memang bersama-sama mengaplikasikan sistem shalat di keseharian. Sekarang tinggal bagaimana 'mengungkap' mulai dari takbiratul ihram sampai mengucapkan salam ke kanan-kiri tanda berakhirnya ritual tersebut? Tentu ini tidaklah mudah karena modelnya sudah harus mempertemukan 'tafsir' yang tekstual dengan kontekstual. Hemat Penulis semua rangkaian gerakan tadi punya 'goal' untuk menyelamatkan (mengucap salam) orang-orang di sekelilingnya (ke kanan dan ke kiri).
Lantas bagaimana dengan tarawih sendiri? Secara singkat kalaupun ianya ibadah 'sunnah' tapi tetap prinsip shalat tadi didapat. Perbedaannya adalah momen Ramadhan harus menjadi agenda menyatukan kesadaran ummat Islam kemudian dengan kuantitas 8 (plus 3 dengan witir) ataupun 20 (juga plus 3 dengan witir) sebagai upaya mengkonsolidasikan kekuatan ummat tadi.
Sedikit tentang Nuzul Alquran dan Lailatul Qadar
Nuzul Alquran ditetapkan pada 17 Ramadhan sedangkan Lailatul Qadar jatuh pada salah satu malam ganjil 10 hari terakhir, biasanya pada malam ke-27. Sebelum kita bahas lebih lanjut, yang perlu ditanyakan adalah mengapa namanya sama-sama turunnya Alquran tetapi terjadinya di malam yang berbeda? Hal ini bisa terjawab jika pengertian kedua 'peristiwa' ini bisa dipertegas. Sering disebut Nuzul Alquran ini dengan malam turunnya ke Alquran. Maksud turun ini apa? Kitab (buku) nya turun ke bumi atau ke Muhammad? Lantas apakah sudah turun ke kita yang kita memperingatinya setiap tahun? Satu ayat turunnya atau semuanya sekaligus? Nabi saja pun menerimanya nyaris 22 tahun. Biasanya akan dijawab di malam ke 17 ini ayat yang pertama turun, yakni QS: Alaq: 1-5 (perintah Iqro). Okelah jika pendekatan ini bisa diterima tentu turun di sini adalah diajarkan kepada Muhammad. Maka kapan yang ke kita diajarkan kali pertama? Bukan belajar membacanya tetapi memahaminya yang sesuai dengan maksud Tuhan.
Bagaimana dengan Lailatul Qadar? Dalam hikayat diceritakan kejadian-kejadian 'luar-biasa' sebagai tanda malam tersebut sedang terjadi Lailatul Qadar mulai dari pohon tunduk dan air sungai yang membeku. Namun saat cerita tersebut dikonfirmasi ternyata tidak dapat siapa periwayatnya dan seluk beluknya semua. Kalaulah disebutkan jatuh pada malam ke-27 yang malaikat-malaikat datang untuk mengatur segala urusan, waktu negara manakah yang digunakan? Bukankah ada perbedaan waktu yang signifikan antar negera-negara di dunia yang jika di sebuah wilayah malam ke-27 bisa dipastikan di tempat lain malam ke-26 atau ke-28, atau masih sore atau juga masih pagi? Jadi bagaimana ukurannya? Sebagai komparatif terakhir, nilai malam ini lebih baik dari 1000 bulan ini. Hemat penulis, ini bukan soal mendapatkan 'pahala' setara 1000 bulan beribadah karena itu hak preogratif Allah tetapi kualitas hidup dan kehidupan manusia yang di'pola' wahyu akan bernilai lebih baik dari setting yang tidak berlandaskan Alquran. Kehidupan wahyu ini tidak akan mampu dicapai oleh 'pola-pikir manusia' nyaris lebih dari 1000 bulan atau 83 tahun.
Ramadhan yang Paradoks
Sebuah 'paradoks adalah sebuah pernyataan yang betul atau sekelompok pernyataan yang menuju ke sebuah kontradiksi atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi. Kita berharap Ramadhan membina kesederhanaan kita, ternyata menjadi bulan berlebihan kita. Mulai dari berbuka puasa dengan berbagai hidangan yang tidak cukup satu, sampai ifthor jama'i yang senantiasa ramai di restoran, cafe atau pondok-pondok makanan. Nyaris terjadi di setiap menjelang Maghrib Kita juga ingin Ramadhan melatih 'sosial' kita, malah realita menunjukkan sikap, gaya hidup dan perilaku individualis kita. Bukankah pengeluaran bulanan kita makin banyak plus persiapan Hari-Raya yang memerlukan banyak uang sekaligus pamer kegengsian. Bukankah juga ibadah kita hanya mengejar 'pahala-berlimpah' sebagai bekal pribadi di hari 'hisab' sehingga menjadi kewajaran pasca-nya Masjid-Masjid akan kembali sepi dari Jama'ah dan majelis-majelis ta'lim akan bubar sendirinya. Pada akhirnya, predikat manusia taqwa hanya menjadi hiasan kitab suci sekaligus utopia bagi kebanyakan ummat Islam sehingga nyaris tidak ada perbedaan kita antara sebelum dengan setelah Ramadhan. Batas-batas keshalehan tetap kabur, gurita Jahiliyah tetap mengiringi, kemunduran, alienasi dan stagnasi terus menghantui. Pun persatuan ummat seperti panggang jauh dari api dan Ramadhan berlalu begitu saja, yang terkenang hanya lapar dan dahaga.
Penutup
Inginnya Penulis memaparkan lebih banyak fenomena yang terjadi di keseharian Ramadhan yang membuat gelisah, geram sekaligus menyayangkan mengapa hal itu bisa terjadi. Yang saat seharusnya Ramadhan mampu menjadi momentum perubahan ummat Islam tetapi terakhir hanya menjadi agenda tahunan dan berlalu begitu saja. Sejatinya Ramadhan kita bernilai transormatif karena suka atau tidak suka Alquranlah yang memintanya seperti itu.
Wallahua'lam.

Ditulis oleh Instruktur Senior HMI Cabang Medan, Khalid Bardady Lubis
Foto diambil dari https://haloponsel.com


Revolusi Pergerakan KOHATI dalam Membentuk Karakter Mahasiswi Muslimah Insan Cita

3/05/2018 Add Comment

bolokajiblog- Dalam teater hidup manusia, diskursus mengenai perempuan sudah ada sejak manusia itu dilahirkan. Baik status, tugas, hak dan juga kewajiban. Perkembangan pemikiran seiring dengan paradigma masyarakat pada masanya begitu dalam dengan berbagai masalah perempuan. Pada awalnya tugas dan perananan perempuan terbatas dalam hal “domestik” yaitu kasur, sumur, dan dapur.
Kontribusi besar perempuan sudah terlihat sejak HMI terbentuk. HMI sebagai organisasi mahasiswa islam tertua di Indonesia punya respon terhadap persoalan yang menimpa perempuan. Dimana aktivitas dan peran HMI-Wati include dalam rangkaian kegiatan organisatoris HMI dengan mengikuti dinamikanya mulai dari revolusi fisik, mempertahankan kedaulatan sampai dengan pemberontakan PKI.
Pada masa orde lama, orde baru dan reformasi, kader HMI terus meningkat. Secara kualitas, kader-kader HMI-Wati memiliki potensi yang besar untuk itu tapi budaya patriarki yang masih merambah dalam aktivitas HMI menyulitkan HMI-Wati untuk berkembang. Belum lagi pandangan tentang kiprah aktivis perempuan yang dibatasi oleh perspektif lingkungan sekitarnya pun membuat HMI-Wati makin tertinggal dalam hal kaderisasi. HMI secara organisasi memiliki konsep perkaderan yang sangat mapan dibandingkan dengan organisasi pemuda lainnya seharusnya tidak pandang bulu dalam menjalankan roda organisasi.
Pertanyaannya kenapa didalam kehidupan sosial dan bermasyarakat, perempuan jarang sekali diperhitungkan atau bahkan disepelekan? Kenapa perempuan hanya dirasa hakikatnya hanya mengurus masalah kasur, sumur, dapur (domestik) saja? Karena physically, Allah SWT. menciptakan perempuan kenyataannya lebih lemah dari laki-laki, sehingga yang terjadi kapabilitas dalam ranah publik tidak menonjol. Paradigma ini yang menyebabkan kurangnya kualitas perempuan itu sendiri. Melihat kondisi obejkif tersebut maka dibentuk lah badan khusus KOHATI didalam tubuh organisasi HMI. Mengutip perkataan Kakanda Laila Nagib (Keua Umum Badko Jawa Tengah) dalam buku HMI 1963-1966, yaitu “Menjadi sarjana yang wanita dan wanita yang sarjana” yang memiliki arti sekalipun dia sarjana, dia tetap mempertahankan fitrah sebagai perempuan, dan sekalipun dia seorang perempuan, dalam seluruh kehidupannya dia menerapkan kompetensinya sebagai sarjana. Bagaimana KOHATI di dalam naungan HMI menjadi laboratorium hidup, tempat HMI-Wati mencoba menempa segala hal, menjadi wadah latihan untuk mempersiapkan muslimah berkualitas Insan Cita sebagaimana yang tercantum dalam tujuan KOHATI.
Jika dilihat perkembangan KOHATI dari masa ke masa, tantangan KOHATI pada zaman sekarang sudah bukan masalah bagaimana memperjuangkan bangsa secara fisik, tetapi bagaimana berperang dan mempertahankan Indonesia dari perang pemikiran, dari rusaknya mental akibat tergilas perubahan zaman. Kakanda Ida Ismail (salah satu dari 5 pendiri KOHATI) pernah mengatakan saat menyampaikan materi pada forum LKK Cab.Jakpustara bahwa kita sekarang berada pada nilai-nilai dalam masyarakat, etika, dan kualitas perlahan-lahan berubah seiring perkembangan zaman. Dimana nilai-nilai budi pekerti dan pendidikan moral sudah tidak lebih penting dibandingkan nilai-nilai pengetahuan umum. “Era Layar” sedang meraja lela dan Narkotika sudah sudah menjadi hal yang lumrah. Sudah tak terbayang, apa lagi tantangan yang harus dihadapi generasi-generasi penerus bangsa selanjutnya, belum lagi menghadapi perkembangan MEA, bonus demografi dan lainnya.
Allah SWT. berfirman yang artinya:”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hedaklah mereka mengucapkan perekataan yang benar.”
Ketika anak lahir, kemudian tumbuh dan berkembang, memasuki dunia sekolah, tugas ibu tak lantas tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat mengimbangi apa yang diajarkan disekolah. Di zaman dengan perkembangan teknologi yang serba cepat, dan kebutuhan kehidupan yang semakin meningkat mengakibatkan manusia semakin tergilas dengan hal-hal “duniawi” ini yang bahkan dapat kita lihat sendiri dampaknya pada moral anak bangsa. Sehingga disinilah yang menjadi tantangan perempuan dalam mencetak generasi selanjutnya. Peran startegis demikian yang menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya karena untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas pula.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut, diharapkan KOHATI kedepannya harus benar-benar memiliki kualitas yang paripurna untuk menjaga, menjadi pengawal panji islam bagi masa depan umat islam, bangsa dan negara. Senantiasa menyadari bahwa HMI-Wati menyadari kodratnya sebagai seorang istri yang kelak akan jadi menjadi madrasatul ‘ulla bagi anak-anaknya, penyejuk bagi suaminya, dan menjadi bagian dari masyarakat dengan maksimal senantiasa bermanfaat untuk segalanya.

Penulis : Riezky Amalia Hesy Nasution, Ketua Umum KOHATI HMI Komisariat FKG USU Periode 2016-2017


Islam dan Ilmu Pengetahuan

2/22/2018 Add Comment
bolokaji- Islam merupakan ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT sebagai ajaran yang haq lagi sempurna untuk mengatur umat manusia dalam berkehidupan. Ajaran Islam menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar. 
Orang yang beragama Islam disebut seorang Muslim. Bagi seorang Muslim, iman adalah bagian paling mendasar dari kesadaran keagamaannya. Iman sering diperbincangkan dalam pertemuaan keagaaman dan sering menjadi pertanyaan “Sudahkah kita beriman?” “Sebesar apa keimanan kita?” dalam berbagai makna dan tafsirannya, sebagai rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Iman sangat erat kaitannya dengan amal. Ketika muslim beriman pasti akan mengerjakan amalannya sebaik mungkin. Iman dan amal membentuk pola segitiga dengan ilmu yang melengkapi peran umat manusia yang kukuh dan benar di mukabumi. Seolah menengahi antara iman dan amal itu dari suatu segi sebagaimana ibadah juga menengahi antara keduanya dari segi yang lain.
Posisi ilmu menjadi bagian penting dalam esensi ajaran islam. Hal ini juga banyak menimbulkan perdebatan antara iman yang didahulukan atau ilmu. Terlepas dari itu, iman dan ilmu menjadi dua unsur yang sangat erat dalam menjalankan amalan di dunia. Manusia sejatinya dalam menjalankan perannya di dunia cenderung kepada kebenaran (hanief) dan proses mencari kebenaran tersebut membutuhkan ilmu. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian ilmu pengetahuan dan objek pengetahuan.
Dalam konsep filsafat ilmu yang saya ketahui, pemakaian kata ilmu setidaknya ada tiga makna yang dikandungnya yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Ilmu secara umum diartikan dengan pengetahuan (knowledge). Namun pengetahuan yang dimaksud adalah kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (a systematic body of knowledge). Sering dinyatakan ilmu adalah pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method).
Mengutip dari buku Islam Mazhab HMI karya Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag "manusia harus menyadari dengan benar posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi dengan memanfaatkan dan memelihara alam untuk kepentingan seluruh makhluk. Tugas ini akan terlaksana dengan baik jika manusia memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi."
Umat Islam seharusnya menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, apalagi yang bersumber dari Islam sendiri. Islam menyediakan sumber ilmu pengetahuan melalui panduan firman Allah SWT yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang ilmiah banyak ilmuwan muslim yang mendapatkan inspirasi untuk melakukan penelitian-penelitian. Umat islam sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yang dibawa dari Yunani Kuno. Hal ini terlihat dari munculnya para filsuf muslim diantaranya ialah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (sekitar 257 H/870 M). Al-Kindi secara khusus dikenal sebagai filsuf bangsa Arab (faylasūf al-‘Arab). Dilain hal ada Al- Khawarizmi dari Khiva seorang yang ahli dalam ilmu matematika dan dipandang orang yang pertama kali menemukan teori al-Jabar. Kemudian ada Al- Biruni (973-1048) seorang ahli astronomi yang berhasil menentukan secara akurat garis lintang dan bujur. Beberapa ilmuwan muslim dari disiplin ilmu yang lain masih banyak dan tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Sejarah inilah yang menjadikan masa kejayaan umat islam dengan ilmu pengetahuannya, berbanding terbalik dengan bangsa eropa yang berada dalam kegelapan.
Pengetahuan modern merupakan tingkat-mutakhir perkembangan peradaban umat manusia secara keseluruhan karena berbagai hal, kebetulan dimulai oleh bangsa-bangsa dari kawasan Eropa Barat Laut. Ciri peradaban mutakhir itu ialah teknologi. Teknologi ini, pada gilirannya, ditopang oleh suatu sistem kognitif yang dilandasi oleh empirisisme. Inilah yang kita maksudkan dengan ilmu pengetahuan modern. Selain empirisisme yang amat menonjol, ilmu pengetahuan modern juga berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik karena sikapnya yang selalu memandang kedepan, sehingga ilmu pengetahuan menjadi tidak berhenti pada suatu tapal batas (frontier). Oleh karena itu, eksplorasi dan riset (research) merupakan bagian mutlak ilmu pengetahuan modern.
Dizaman sekarang atau istilah familiarnya “Zaman Now” yang merupakan era modern, perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh bangsa Eropa dan Amerika. Umat muslim seakan “Mengaminkan” bahwasannya ilmu pengetahuan modern berasal dari bangsa Barat. Sungguh sebuah realita yang menyedihkan karena Islam pernah menjadi “Guru” pada masa “Jahiliyyah” oleh bangsa barat namu pada saat ini Islam yang menjadi konsumen teknologi karya“Murid” nya.
Melihat kondisi ketertinggalan Islam, sebagai seseorang yang memegang predikat mahasiswa pastinya saya mendapat tekanan besar dengan kondisi ilmu pengetahuan saat ini. Mahasiswa muslim diharuskan mempunyai kemampuan kognitif tinggi, afektif baik dan cekatan dari segi psikomotorik sebagai modal diri dalam proses mencari kebenaran. Al-Qur’an yang menuangkan firman Allah SWT sebagai sumber ilmu pengetahuan alam semesta harus dapat diobservasi dan memformulasikannya untuk menjawab tantangan ilmu pengetahuan modern.
Akhir kata “Siapkah Anda Menjadi Salah Satu Ilmuwan Muslim Penantang Ilmu Pengetahuan Modern?”


Penulis :Rahmad Hanif, Ketua Umum HMI Komisariat FKG USU Periode 2016-2017

Foto diambil dari slideshare.net

Menakar Sifat Profetik Kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto

2/15/2018 Add Comment
bolokajiblog- Manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan pemimpin dimuka bumi (khalifah fil ardhi) dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata untuk kehadirat sang pencipta.. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pemimpin” mempunya arti yaitu orang yang memimpin. Dapat disimpulkan bahwasanya pemimpin mempunyai objek yang dipimpinnya setidak-tidaknya adalah memimpin dirinya sendiri. Dalam aktivitasnya, si pemimpin tentunya harus memiliki sifat “kepemimpinan” yang dapat mengarahkan apa yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan dan cita-cita bersama antara si pemimpin dan yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam KBBI juga mempunyai arti yaitu, perihal pimpinan; cara memimpin. Antara “pimpinan” dan “kepemimpinan” tentunya mempunyai korelasi yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik memimpin (leadership). Namun kedua hal tersebut sangatlah berbeda. Pimpinan dapat disetarakan dengan Ketua, Kepala, atau istilah pimpinan lainnya. Sedangkan “kepemimpinan” lebih mengarah kepada gaya, cara, atau seni yang harus dimiliki setiap pimpinan. Banyak cara, gaya, atau seni memimpin yang dilakukan oleh para pemimpin di dunia mulai dari otoriter sampai totaliter (melayani). Selain itu terdapat juga beberapa teori kepemimpinan. Menurut Robbins dalam Sus Budiharto dan Fathul Himan (2005: 136), teori kepemimpinan yang paling mutakhir antara lain berhubungan dengan demoralitas atau spiritualitas. Sumber moralitas atau spiritualitasnya bisa dari mana saja termasuk dari Islam.

Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam KBBI, profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal (Filsuf Muslim asal India abad ke-20). Iqbal mendeskripsikan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW ber Mi’raj, beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi SAW tidak hanya menikmati kebahagiaannya berjumpa dengan Allah SWT, dan melupakan masyarakatnya. Dengan demikian, pengertian profetik disini adalah melaksanakan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai dan pola kenabian. Dalam hal ini adalah kepemimpinan. Kepemimpinan profetik berarti gaya atau seni memimpin berdasarkan nilai-nilai dan pola kenabian. Kekuatan kepemimpinan profetik inilah yang penulis lihat dan cermati ada pada sosok Haji Oemar Said Tjoroaminoto. Dan hal ini pulalah yang coba penulis urai dalam tulisan ini.
HOS Tjoroaminoto merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir pada Rabu, 16 Agustus 1882 di Ponorogo. Dibawah kepemimpinan beliaulah organisasi Sarekat Islam berada pada masa kejayaan sekaligus mengantarkan beliau menjadi salah satu tokoh pergerakan kebangkitan nasional. Tak salah penulis menempatkan beliau menjadi salah satu tokoh idola baik didalam kehidupan berorganisasi, pergerakan, dan bersosial. Pola kekuatan kepemimpinan profetik yang beliau parktikkan tergambar melalui salah satu trilogi termasyhur yang pernah beliau ungkapkan dalam pidato beliau untuk membakar semangat juang anggota Sarekat Islam dalam melawan kolonialisme penjajah yaitu, “Semurni-murni Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, dan Sepintar-pintar Siasat”. Didalam triolgi tersebut penulis menafsirkan, bahwasanya dasar-dasar kepercayaan yang kuat dalam ketauhidan harus ditopang dengan keinginan mencari ilmu yang setinggi-tingginya sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW, “tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat” untuk mencapai solusi dan penyelesaian penjajahan dalam mencapai kemerdekaan. Semangat inilah yang menjadi gambaran apa yang harus dimiliki oleh setiap pejuang kebangkitan nasional khususnya Sarekat Islam dalam mencapai kemerdekaan atas penjajah. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan Sanerya Hendrawan (2009: 158), bahwa kekuatan kepemimpinan profetik ini, terletak pada kondisi spiritualitas pemimpinnya. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang yang telah selesai memimpin dirinya sehingga upaya mempengaruhi orang lain atau memimpin sesuai dengan keteladanan terhadap Rasulullah SAW. Selain itu, karya beliau buku Islam dan Sosialisme menurut tafsiran penulis beliau menjelaskan bahwasanya tidak ada yang salah dengan Karl Marx dan Engels tetapi mengapa beberapa diantara kita terjebak dengan sosialismenya Karl Marx dan Engels sedangkan Rasulullah SAW sudah mempraktikkan sosialisme jauh sebelum mereka. Didalam buku Islam dan Sosialisme Tjoroaminoto menuliskan, “adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu. Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada era kepemimpinan Nabi Muhammad, tidak terlepas dari prinsip-prinsip sosialisme yang diterpkan oleh Rasulullah dalam mengatur pemerintahan dan upaya memperluas wilayah, termassuk dengan menjadikan semua tanah yang dikuasai menjadi milik negara. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam telah melancarkan dirinya ke negri-negri luar” (Islam dan Sosialisme, 1963: 10). 
Lebih lanjut kepemimpinan profetik yang Tjokroaminoto wujudkan, berdasarkan buku Islam dan Sosialisme  beliau bagi menjadi tiga prinsip sosialisme yang menurut beliau merupakan kunci kejayaan pemerintahan Islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Yang pertama yaitu Kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang dapat menyatukan umat Islam itu. Dalam perspektif penulis, ketiga prinsip diatas dapat disimpulkan menjadi tujuan humanisasi (memanusiakan manusia) dan tujuan liberasi (pembebasan belenggu penjajahan) sesuai dengan pertentangan beliau yang menganggap bahwasanya kolonialisasi yang dipraktikkan oleh penjajah memandang bahwasanya masyarakat Indonesia yang dijajah adalah sapi perahan yang hanya diambil susu dan dagingnya tanpa kesejahterahan. Hal ini menurut penulis merupakan inspirasi teologis dan pola kenabian yang melandasi Tjoroaminoto didalam perumusan Islam dan Sosialisme tersebut. Sifat kepemimpinan profetik HOS Tjokroaminoto inilah yang penulis fikir mampu menghasilkan tokoh-tokoh bekas murid beliau sekaliber Ir. Soekarno, Semaoen, Alimin, Kartosuwirjo, Musso, Hamka, sehingga tak heran jika beliau di beri predikat sebagai Guru Bangsa. Bahkan Abdul Malik Karim Amrullah saat itu masih berusia belasan tahun ketika pertama kali bertatap muka dengan beliau. Malik rutin mengikuti kursus yang diselenggarakan SI di Yogyakarta pada pertengahan era 1920-an. Tjokroaminoto mengampu materi tentang Islam dan Sosialisme. Malik berkata, “Beliau dalam kursusnya tidak mencela Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya sebab teori Histori Materialisme mereka telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung sebab tidak perlu mengambil teori yang lain lagi”, sebut Malik (Amelz, HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, 1952: 36). Putra Minang yang sudah merantau ke Jawa sejak usia 16 tahun ini memang sangat mengidolakan dan mengagumi sosok HOS Tjokroaminoto sama dengan penulis. “Bilamana tiba giliran beliau, Tjokroaminoto, mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah-wajah para kursusisten (peserta kursus). Saya seakan-akan bermimpi, sebab akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi jiwaku”, kenang Malik. Malik murid Tjokroaminoto sang Guru Bangsa , kelak dikenal dengan Buya Hamka salah satu tokoh besar di Negeri ini. Sejatinya sifat kepemimpinan profetik inilah yang seharusnya disadur oleh pemimpin-pemimpin di dunia, khususya penulis sendiri. Semoga tulisan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Aamiin. Kepada para pembaca mohon arahan dan bimbingan apabila tulisan saya ini masih terdapat kesalahan dan kekeliruan didalam penulisannya. Yakin Usaha Sampai !! 

Medan, 14 Februari 2018 
Penulis Muhammad Ardiyansyah

Perang dan Perebutan Kekuasaan

2/06/2018 Add Comment
bolokajiblog- Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi. Begitulah pandangan Ramlan Surbakti mengenai istilah kekuasaan. Miriam Budiarjo menjelaskan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Patricia membagi unsur kekuasaan ada tiga yaitu tujuan, cara, dan hasil. Kekuasaan dapat digunakan dengan cara baik dan cara yang tidak baik. Jika pemegang kekuasaan mempunyai tujuan yang baik maka cara yang digunakan tentunya juga baik, begitu juga sebaliknya. Benar yang dikatakan para motivator bahwa “berpikir positif akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan positif”. Unsur kekuasaan yang terakhir adalah hasil. Hasil ini sangat berpengaruh dari pemegang kuasa dan orang yang dikuasai. Semakin baik pemegang kuasa dan orang yang dikuasai maka hasilnya juga tentu semakin baik. Kekuasaan dapat diperoleh dengan berbagai cara yaitu pertama dipilih melalui kesepakatan bersama, kedua si pemegang kuasa memilih penerusnya, ketiga dipilih melalui dewan khusus, dan keempat dengan cara pemberontakan. Dalam sejarah Islam (Sejarah Peradaban Islam, Syamruddin) tercatat ketika Rasulullah wafat maka kekuasaan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Ada perbedaan pendapat mengenai kelanjutan kekuasaan ini. Kaum Anshor dan kaum Muhajirin berbeda pendapat siapa pengganti Rasul, sementara Ahlul Bait berpendapat bahwa Rasul telah menunjuk Ali sebagai khalifah pengganti Rasul. Menurut catatan sejarah Abu Bakar dipilih secara musyawarah tanpa dukungan dari Ali dienam bulan pertama kekuasaanya. Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebelum beliau wafat. Utsman terpilih melalui dewan khusus “Panitia Enam” yang dibentuk oleh Umar. Pada saat Utsman memegang tampuk kekuasan, ada desakan dari pemberontak supaya Utsman mundur. Pemberontak menyerbu kediaman Utsman dan pada akhirnya Usman terbunuh. Pasca Utsman terbunuh pemberontak mendesak Ali supaya menggantikan posisi Utsman namun Ali menolak desakan tersebut. Kemudian pemberontak meminta Sa’at bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Auf untuk menjadi pengganti Utsman namun ditolak oleh keduanya. Kaum pemberontak kembali meminta Ali untuk menjadi khalifah dan akhirnya Ali menerima dengan syarat diberi kesempatan untuk memerintah sesuai Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perseteruan politik untuk memperebutkan kekuasaan hadir dengan banyak dinamika yang berbeda-beda. Salah satu dinamika yang terjadi untuk memperebutkan kekuasaan adalah perang. Sejarah kelam Islam tercatat pernah terjadi perang saudara pada saat Ali memegang kekuasaan, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ikhwal ini terjadi lantaran meninggalnya Utsman ditangan para pemberontak. Aisyah dan pasukannya menentang Ali karena menginginkan Abdullah bin Zubeir diangkat menjadi khalifah. Abdullah bin Zubeir mencoba memperalat Aisyah untuk mewujudkan ambisinya yang ternyata juga ingin menjadi khalifah. Akhirnya Aisyah dan pasukkannya sebanyak 20.000 orang melakukan perjalanan untuk memerangi Ali yang memiliki pasukan sebanyak 10.000 orang. Ketika dua pasukan bertemu sempat terjadi negosiasi antara pasukan Ali dan Aisyah hingga keduanya sepakat untuk berdamai. Namun dipasukan Ali ada pengkhianat pengikut Abdullah bin Saba’ yang tidak suka dengan perdamaian ini. Tanpa sepengatahuan Ali, pengikut ini memancing keributan dan akhirnya terjadi perang saudara pertama kali dalam sejarah umat Islam yang disebut dengan Perang Jamal. Pada perang ini kemenangan ada di pihak Ali. Dinamika lain pada saat Ali menjadi khalifah adalah konflik yang berkepanjangan dengan Muawiyah. Muawiyah dapat dikatakan masih satu keturunan dengan Utsman sehingga berpikir bahwa merekalah yang berhak menuntut atas terbunuhnya Utsman, bukan Aisyah. Muawiyah dan pengikutnya menuduh Ali terlibat dalam peristiwa wafatnya Utsman. Mereka meminta pertanggungjawaban atas peristiwa itu. Namun Ali tidak memenuhi permintaan tersebut sehingga Muawiyah menolak atas kekhalifahan Ali. Ali berpendapat bahwa Muawiyah sebagai pembangkang. Akhirnya Ali mengutus pasukan sebanyak 50.000 orang untuk memerangi 80.000 orang pasukan Muawiyah. Ketika kedua pasukan bertemu disuatu tempat bernama Shiffin, untuk kedua kalinya Ali berkeinginan untuk tidak terjadi perperangan dan meminta Muawiyah mengakuinya sebagai khalifah. Namun Muawiyah menolak itu semua sehingga terjadi peperangan yang menelan korban sebanyak 70.000 orang. Menilik sejarah yang terjadi bahwasanya perebutan kekuasaan banyak melahirkan perang-perang yang menelan banyak korban. Ketika Belanda dan Jepang mencoba menguasai Nusantara juga begitu. Bahkan konon, runtuhnya Kerajaan Majapahit juga dikarenakan terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Jika dikaitkan dengan kondisi masa kini, apakah perang fisik masih terjadi. Hemat saya masih terjadi seperti dibeberapa Negara timur Tengah. Tp tahukah kita bahwasanya ada yang lebih bahaya dari perang fisik? Jawabannya ada yaitu perang pemikiran. Perang pemikiran ini muncul dari luar yang tidak ingin “kita” bersatu. Sejatinya kita merasakan bahwa kita tidak berada dipeperangan, namun faktanya pemikiran kita sebenarnya sedang diperangi. Salah satu tujuannya adalah membuat dan membentuk sekat-sekat atau kelompok-kelompok sehingga kita terpecah belah. Seorang senior pernah berkata kepada saya "Jika ingin melihat karakter seseorang, beri dia kekuasaan". Baru beberapa hari ini saya tau kalau itu adalah kutipan dari perkataan Abraham Lincoln. Kalau saya lebih sepakat sebenarnya jika kalimat itu diganti menjadi "Jika ingin melihat karakter seseorang, lihat bagaimana ketika dia mengejar kekuasaan". Mengejar kekuasaan bisa jadi memperjuangkan dirinya sendiri atau kepentingan kelompok nya sehingga kemungkinan memunculkan gesekan satu sama lain. Lantas apa kita mau terus-terusan seperti ini? Saya teringat dengan seorang lelaki tua yang pernah saya temui. Kali pertama saya bertemu dengan lelaki tua itu di Mesjid Al-Amin jalan HM Yamin. Kala itu saya masih bersekolah di MAN 2 Model Medan sekitar tahun 2010/2011. Lelaki tua itu mengatakan dirinya profesor gadungan dan telah banyak menemukan temuan temuan baru. Namun hasil temuannya itu dibajak oleh orang yang iri akan kemampuannya, hingga akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya disiksa dan ada upaya untuk merusak pikirannya hingga dia dianggap gila. Secara fisik memang tampilan lelaki tua itu seperti orang yang tidak waras, sekasar-kasarnya gila. Namun saya sempat terkagum-kagum dengan kemampuan berhitungnya yang bisa berhitung dengan cepat tanpa menggunakan kalkulator. Lelaki tua itu bisa dengan tepat menebak plat kendaraan hasil perkalian berapa dengan berapa. Contohnya jika plat kendaraan tersebut 6012 maka beliau dengan sangat tepat dan cepat tau bahwa 6012 adalah perkalian dari 2x2x3x3x167. Bahkan beliau mampu mengalikan angka 4 digit dengan 4 digit secara tepat dan cepat juga. Dilain waktu saya berkesempatan bertemu lagi dengan beliau di Mushola FKG dan bahkan beberapa hari lalu saya bertemu di perempatan lampu merah simpang kampus USU. Beliau memberikan saya selembar kertas yang selalu dibawanya kemana-mana sambil mengatakan “ini rintihan saya”. Isi kertas itu berupa tulisan yang diketik dengan tambahan tulisan tangan yang membahas peperangan yang terjadi dibeberapa Negara belahan dunia. Ada satu kalimat yang buat saya terkesima, beliau menuliskan “peperangan itu menghabiskan biaya yang besar dan memakan banyak korban. Lebih baik biaya perang itu digunakan untuk membantu negara miskin di Afrika dll”. Lagi-lagi saya harus terkagum dengan pikirannya. Lelaki tua yang mengatakan dirinya profesor gadungan, secara fisik seperti orang gila namun memiliki pikiran yang sehat dan cinta akan kedamaian. Lantas kita yang secara fisik berpenampilan sehat dan waras kenapa berpikir tidak sehat dan gila akan kekuasaan? Bukankah hidup tanpa sekat sekat itu jauh lebih indah. Saya pikir Perjuangan Islam tidak akan tegak tanpa adanya Ukhuwah Islamiyah, konon lagi berbicara Ukhuwah Insaniyah. Medan, 1 Februari 2018
Penulis MY Foto diambi dari sejarahislamarab.blogspot.com