Ramadhan Transformatif

5/18/2018

bolokaji-Pada kesempatan kali ini, izinkan Penulis menuangkan hasil kontemplasi dan perenungan mendalamnya tentang aktvitas-aktivitas kehidupan yang terjadi saat berlangsungnya bulan 'Ramadhan'. Pengambilan istilah 'Ramadhan' sebagai tema tulisan ini menandakan pembahasan kali ini tidak hanya berkutat di sekitar tradisi puasa. Dimana bisa dipastikan tulisan ini tidak dalam rangka 'mendobrak kemapanan' yang ada, tetapi mencoba mencari 'makna-makna lain' dari proses-proses tersebut, yang pada akhirnya -setidaknya- secara pribadi, Penulis jadi menemukan 'anugrah yang hilang' di bulan ini, dan dalam konteks kolektif, hal ini menjadi 'share' dan tentunya layak untuk diperbincangkan dan semoga-moga berimplikasi meningkatkan kualitas Ramadhan kita (baca: Ummat Islam).
Antara Psiko dan Sosial
Dua target mendasar ini menjadi kata-kunci dari 'muzakarah' ini. Mengapa demikian? Konon, Islam dianggap sebagai jalan tengah antara kapitalisme (individualis) dan sosialisme (kolektivitas). Islam senantiasa memotivasi manusia mendapatkan yang terbaik untuk dirinya inheren sekelilingnya. Islam 'rahmatal lil 'alamin' mensinyalkan parameter-parameter kebaikan seseorang tidak terlepas dari peran sosialnya. Di Alquran termaktub hablum minallah selalu hadir berbarengan dengan hablum minannas. Sampai-sampai Rasul menegaskan manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat buat manusia lainnya. Pun di Hadis lain diterangkan tentang pengakuan palsu orang-orang beriman jika mereka tidak mencintai saudara seperti mereka mencintai diri sendiri. Begitu juga dengan peringatan Rasul "kita tidak akan mencium bau syurga jika tidur dalam kekenyangan tetapi tetangga kita tidur dalam kelaparan". Ikatan antara yang satu dengan yang lainnya, persatuan, kerjasama, saling memahami, bertoleransi, saling membantu dan peduli adalah instruksi-instruksi Allah yang menjadi aturan ummat Islam menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaannya di muka bumi. Oleh karena itu, adalah keharusan apapun 'rutinitas' kita, apalagi yang ianya bernilai 'ibadah' sewajarnya berdimensikan transformatif, yaitu sesuatu yang berdaya-gerak mengintegrasikan individu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sehingga 'setting'-nya adalah sublimasi sistem antara psiko dan sosial.
Dalam bahasa yang sederhana, ibadah kita adalah psiko-sistem sekaligus sosial-sistem. Jika 'aqimus shalah' diterjemahkan melaksanakan shalat, maka otomatis pekerjaan itu dalam rangka kepentingan individu, sebagai kewajiban, menambah pahala vis a vis takut dosa. Jadi dimana berdampak sosialnya? Dalam perkembangannya kajian tentang shalat ternyata bukan sekedar melaksanakan tetapi menegakkan (aqimu berasal dari kata qum = tegak), sehingga proses ''tanha 'anil fakhsyai walmunkar" otomatis menjadi budaya orang yang shalat. Itu contoh sublimasi tadi. Lantas bagaimana dengan yang lain? Zakat atau Haji? Jika kita coba refleksikan, sepertinya juga nyaris sama. Bahwa proses tersebut kita lakukan -tidak lain tidak bukan- untuk menyelamatkan diri kita dari siksa Tuhan, yang sebenarnya jika kita lihat keseluruhan pendekatan ayat, semua proses tersebut adalah dalam rangka kemashlahatan ummat. Bukankah Zakat diperagakan Rasul untuk menuntaskan kemiskinan? Pun kita tahu bersama bahwa evaluasi mabrurnya Haji seseorang adalah keshalehan sosialnya, yakni menjadi seorang agen perubahan masyarakat. Analogi mendapatkan pahala 1000 adalah indikasi seorang yang sudah ber-Haji mampu menyadarkan 1000 orang untuk bersama menyebarkan kebaikan, lebih 'dahsyat' dari kualitas shalat yang berpahala 27, yang mampu 'menggerakkan' 27 orang di sekitarnya melakukan pembebasan dari keji dan munkar. Lantas bagaimana dengan Puasa sendiri yang Penulis lebih ingin menyebutnya dengan Shaum, bukan puasa? Inilah yang akan kita kaji bersama.
Antara Shaum dan Puasa
Akulturasi adalah pilihan strategi yang diterapkan Islam untuk masuk ke Nusantara di periode awal. Satu sisi positif, karena proses infiltrasi berlangsung damai, namun 'harus diakui' menyisakan problem untuk periode berikutnya. Problem itu sering disebut 'distorsi hermeneutika'. Kita tahu Hindu dan Budha adalah penguasa Indonesia jauh sebelum Islam datang sehingga banyak pokok ajaran agama tersebut 'terkondisikan' menjadi tradisi di daerah-daerah terutama kawasan Jawa. Dalam perjalanan selanjutnya masuklah Islam mewarnai dinamika kehidupan masyarakat, diterima dengan baik, namun tetap tidak berhasil mengikis habis tradisi tadi. Alhasil 'sinkretisasi' menjadi jalan tengah untuk melakukan perubahan. Ijtihad ini dianggap salah satu model dakwah agar Islam yang arab-oriented berkesinambungan perkembangannya dan selaras dengan tradisi yang sangsekerta-oriented'. Jika dipikir-pikir ini terkesannya sepele, tapi ternyata menimbulkan fenomena-fenomena perubahan makna ajaran Islam itu termasuk dalam aplikasinya. Sebut saja 'shalat' yang diartikan sembahyang atau 'din' yang diartikan agama. Ibadah diartikan menyembah. Bukankah sangat mumpuni terjadi bias maksud dari yang diinginkan akibat perubahan redaksi tersebut?
Begitupun juga halnya dengan puasa. Secara etimologi, puasa adalah menahan makan. Lantas apakah shaum jadinya sesimple itu? Dimensi sosial apa yang menjadi target dari proses tersebut? Atau jika ianya pembinaan seperti ungkapan Rasul tentang bunyanul Islam, model yang bagaimana sih pembinaan shaum itu? Kok bisa dengan hanya menahan makan dan minum manusia menjadi bertaqwa? Lantas apa ada hubungan dengan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Alquran, dengan tarawih plus tadarrus ? Semua pasti ada jawabannya jika kita bersepakat bahwa ritual puasa yang hari ini dilakoni kebanyakan kita adalah hanya sebagian kecil dari aktivitas shaum itu. Wajar kemudian out-put taqwa tidak didapat dan kalaupun ada ketaqwaan yang dihasilkan ternyata juga berkarakter nafsi-nafsi, yang jika ditilik informasi dari kitab suci tentang taqwa ternyata semuanya berdimensi sosial. Artinya seseorang dianggap sukses shaumnya jika ia juga mampu menunjukkan 'asset-sosialnya'? Lantas bagaimana? Karena apapun ceritanya dalam beberapa dasarwarsa terakhir 'puasa" hanya menjadi agenda tahunan ummat Islam, terus berlangsung tanpa adanya muhasabah, sehingga tidak ada skenario menjadikan Islam yang lebih baik, dimana Rasul pernah mencontohkan bestek shaum dan Ramadhan sebagai momen merancang target-target yang harus dicapai mereka minimal dalam jangka waktu 11 bulan berikutnya dan tentunya dievaluasi Rasul (bersama sahabat) di Ramadhan tahun depan.
Hal ini bisa 'sedikit' dituntaskan jika pada dasarnya kita mampu menghubungkan sekaligus mengintegrasikan antara Shaum dan Ramadhan tersebut. Saya coba ulas tentang Ramadhan dulu. Secara bahasa bermakna "panas". Dengan menggunakan pendekatan sejarah, para penafsir mendefiniskan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Alquran. Apa maksud bahasa diturunkan? Ke siapa yang mendapatkannya? Bagaimana caranya? Ini bisa dijawab jika kita terlebih dahulu meng'amini' bahwa 'Alquran sudah khatam untuk Muhammad Rasulullah' tapi belum buat kita? Maksudnya begini bahwa kalaupun kita sudah beberapa kali mengkhatamkan Alquran, akan tetapi kita ternyata belum menginternalisasinya menjadi kesadaran apalagi berakhlaq-kannya yang diibaratkan dengan Alquran berjalan (Hadis). Kesadaran yang dimaksud adalah hudal linnas wa bayyinatim minal huda wal furqon (Qs.2:185). Dengan pendekatan ini, maka menjadi terjawablah saat Ramadhan berkesempatan menjadi momen Alquran harus diturunkan atau diajarkan kepada manusia (awwaluhu rahmah) sesuai dengan kesanggupan mereka mana ayat-ayat yang siap dipanggungkan untuk periode kehidupan berikutnya. Jika sudah begini, bisa dipastikan evaluasi terukur (awsatuhu maghfiroh) dan proyeksi terpadu sehingga 'akhiruhu itqum minan nar berjalan setiap tahun.
Di dalam Ramadhan berlangsunglah shaum. Ditinjau etimologinya, shaum berarti imsak (menahan) dan istawa (menyetimbangkan). Apa sih yang ditahan dan disetimbangkan? Tentunya tidak sekedar puasa dan diri (psiko), harus lebih dari itu. Saat siang Ramadhan ummat Islam diharamkan makan, minum dan melakukan hubungan sex adalah gambaran bahwa kita harus menahan diri dari segala faktor organis biologis (kebutuhan perut dan bawah perut, maaf) sehingga menyebabkan kita tidak bertaqwa. Hal ini akan diperoleh jika memang yang mem-pola dan mengendalilan diri kita adalah wahyu yang telah meresap jauh ke dalam sanubari. Adapun istawa adalah sinonim dari taqwa itu sendiri sehingga menjadi kemutlakan para 'shaimun' otomatis muttaqin, tidak mudah-mudahan (kecenderungan nisbi). Seperti telah disebutkan di awal, keseluruhan informasi tentang taqwa adalah berbicara kemampuan menyelesaikan problem hidup dan kehidupan 'our-community' dengan 'cara Tuhan' tadi. Alhasil, pasca shaum dan Ramadhan tentunya kita mendapatkan 'ketetapan baru' yang harus diperistiwakan dalam rangka kerja-kerja kekhalifaan manusia.
Antara Qiro'atil, Tahsinul dan Tadarrus Alquran
Qiro'at Alquran sering diartikan dengan membaca Alquran. Teknis ini serupa dengan tahsin yang bermakna memperbaiki bacaan termasuk di dalamnya belajar tajwid dan melagukannya (ghina Alquran). Maka pertanyaan sederhananya apakah tadarrus juga bermakna yang sama? Realita yang terjadi seakan-akan ritual Ramadhan ini berubah 'tanpa-sadar' dari tadarrus menjadi sekedar qiro'at dan tahsin (baca: membaca Alquran) dan di malam ke-27 mengkhatamkannya. Alhasil pengertian tadarrus Alquran menjadi kabur. Dalam bahasa yang lain, Penulis menyebutnya dengan 'reduksi hermeneutika'- ada makna yang hilang dari perubahan istilah, yang otomatis mengurangi target dari proses yang dilakukan. Kita pasti tahu membaca Alquran senantiasa berlangsung sepanjang hayat, namun tetap 'istimewa-nya' malam Ramadhan adalah melakukan tadarrus. Lantas apa tadarrus itu?
Secara etimologi, istilah ini terambil dari kata yang sama dengan 'madrasah' yaitu darasa yang berarti belajar. Maka wajarlah pengertian madrasah menjadi tempat belajar (sekolah) dan karenanya tadarrus Alquran bermakna mempelajari Alquran, baik secara individu maupun bersama-sama. Dalam konteks ayat, ada yang menyebutkannya gamblang: Qs.3:79 "...Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya (tadrusun)". Istilah tadarrus di ayat tersebut dimaknai dengan mempelajari. Dengan pendekatan ini, sudilah kiranya sebagian kita ummat Islam mengondisikan menuju proses ini sehingga ibadah lail kita adalah sudah pada tahap mempelajari kandungan Alquran. Jadi bukan sekedar berlomba-lomba siapa yang duluan tamat, akan tetapi tidak memahami apa yang sudah dibaca konon lagi mau berbicara tentang menjadikannya sebagai 'hukum'. Begitulah realitanya.
Tapi pembahasan ini belum boleh berhenti di sini. Pertanyaan lanjutannya adalah yang mana dari Alquran tersebut yang harus dipelajari? Apakah semuanya diselesaikan di Ramadhan? Pastilah tidak mungkin karena keterbatasan kemampuan manusia plus permintaan Alquran sendiri yang berkeinginan agar kita memahaminya dengan berangsur-angsur (pelajari Qs.25:32). Jika begitu berdasasrkan skala prioritas? Apa parameternya? Tugas para generasi Rabbani menjawabnya?....
Selayang Pandang "Tarawih"
Banyak dari kita yang belum mengetahui arti tarawih. Secara bahasa ternyata berdefinisikan istirahat. Pengertian ini juga mengalami penguatan di Hadis yang menjelaskan tentang aktivitas Rasul pasca berbuka puasa adalah tarawih (yang diterjemahkan dengan istirahat) baru kemudian Beliau melakukan shalat 'lail'. Mungkin atas dasar inilah beberapa kalangan belakangan ini mewacanakan nama shalat tarawih diganti saja dengan shalat 'malam'. Tapi terlepaslah 'perbedaan' itu, Penulis lebih bermaksud mengkajinya secara substantif: dari ritual menuju transformatif. Sebuah pendekatan tentang 'menegakkan' shalat bukan sekedar melaksanakannya. Dalam konteks kewajiban yang fardhu sebagai seorang pribadi, sang Rabb meminta kita mentransformasi gerakan-gerakan shalat menjadi nilai di seluruh sendi kehidupan. Bagaimana dengan shalat berjama'ah? Berarti perintah sosialnya lebih tegas, bahwa ternyata kita (baca: orang yang sudah shalat bagaimanapun teknisnya) harus memang bersama-sama mengaplikasikan sistem shalat di keseharian. Sekarang tinggal bagaimana 'mengungkap' mulai dari takbiratul ihram sampai mengucapkan salam ke kanan-kiri tanda berakhirnya ritual tersebut? Tentu ini tidaklah mudah karena modelnya sudah harus mempertemukan 'tafsir' yang tekstual dengan kontekstual. Hemat Penulis semua rangkaian gerakan tadi punya 'goal' untuk menyelamatkan (mengucap salam) orang-orang di sekelilingnya (ke kanan dan ke kiri).
Lantas bagaimana dengan tarawih sendiri? Secara singkat kalaupun ianya ibadah 'sunnah' tapi tetap prinsip shalat tadi didapat. Perbedaannya adalah momen Ramadhan harus menjadi agenda menyatukan kesadaran ummat Islam kemudian dengan kuantitas 8 (plus 3 dengan witir) ataupun 20 (juga plus 3 dengan witir) sebagai upaya mengkonsolidasikan kekuatan ummat tadi.
Sedikit tentang Nuzul Alquran dan Lailatul Qadar
Nuzul Alquran ditetapkan pada 17 Ramadhan sedangkan Lailatul Qadar jatuh pada salah satu malam ganjil 10 hari terakhir, biasanya pada malam ke-27. Sebelum kita bahas lebih lanjut, yang perlu ditanyakan adalah mengapa namanya sama-sama turunnya Alquran tetapi terjadinya di malam yang berbeda? Hal ini bisa terjawab jika pengertian kedua 'peristiwa' ini bisa dipertegas. Sering disebut Nuzul Alquran ini dengan malam turunnya ke Alquran. Maksud turun ini apa? Kitab (buku) nya turun ke bumi atau ke Muhammad? Lantas apakah sudah turun ke kita yang kita memperingatinya setiap tahun? Satu ayat turunnya atau semuanya sekaligus? Nabi saja pun menerimanya nyaris 22 tahun. Biasanya akan dijawab di malam ke 17 ini ayat yang pertama turun, yakni QS: Alaq: 1-5 (perintah Iqro). Okelah jika pendekatan ini bisa diterima tentu turun di sini adalah diajarkan kepada Muhammad. Maka kapan yang ke kita diajarkan kali pertama? Bukan belajar membacanya tetapi memahaminya yang sesuai dengan maksud Tuhan.
Bagaimana dengan Lailatul Qadar? Dalam hikayat diceritakan kejadian-kejadian 'luar-biasa' sebagai tanda malam tersebut sedang terjadi Lailatul Qadar mulai dari pohon tunduk dan air sungai yang membeku. Namun saat cerita tersebut dikonfirmasi ternyata tidak dapat siapa periwayatnya dan seluk beluknya semua. Kalaulah disebutkan jatuh pada malam ke-27 yang malaikat-malaikat datang untuk mengatur segala urusan, waktu negara manakah yang digunakan? Bukankah ada perbedaan waktu yang signifikan antar negera-negara di dunia yang jika di sebuah wilayah malam ke-27 bisa dipastikan di tempat lain malam ke-26 atau ke-28, atau masih sore atau juga masih pagi? Jadi bagaimana ukurannya? Sebagai komparatif terakhir, nilai malam ini lebih baik dari 1000 bulan ini. Hemat penulis, ini bukan soal mendapatkan 'pahala' setara 1000 bulan beribadah karena itu hak preogratif Allah tetapi kualitas hidup dan kehidupan manusia yang di'pola' wahyu akan bernilai lebih baik dari setting yang tidak berlandaskan Alquran. Kehidupan wahyu ini tidak akan mampu dicapai oleh 'pola-pikir manusia' nyaris lebih dari 1000 bulan atau 83 tahun.
Ramadhan yang Paradoks
Sebuah 'paradoks adalah sebuah pernyataan yang betul atau sekelompok pernyataan yang menuju ke sebuah kontradiksi atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi. Kita berharap Ramadhan membina kesederhanaan kita, ternyata menjadi bulan berlebihan kita. Mulai dari berbuka puasa dengan berbagai hidangan yang tidak cukup satu, sampai ifthor jama'i yang senantiasa ramai di restoran, cafe atau pondok-pondok makanan. Nyaris terjadi di setiap menjelang Maghrib Kita juga ingin Ramadhan melatih 'sosial' kita, malah realita menunjukkan sikap, gaya hidup dan perilaku individualis kita. Bukankah pengeluaran bulanan kita makin banyak plus persiapan Hari-Raya yang memerlukan banyak uang sekaligus pamer kegengsian. Bukankah juga ibadah kita hanya mengejar 'pahala-berlimpah' sebagai bekal pribadi di hari 'hisab' sehingga menjadi kewajaran pasca-nya Masjid-Masjid akan kembali sepi dari Jama'ah dan majelis-majelis ta'lim akan bubar sendirinya. Pada akhirnya, predikat manusia taqwa hanya menjadi hiasan kitab suci sekaligus utopia bagi kebanyakan ummat Islam sehingga nyaris tidak ada perbedaan kita antara sebelum dengan setelah Ramadhan. Batas-batas keshalehan tetap kabur, gurita Jahiliyah tetap mengiringi, kemunduran, alienasi dan stagnasi terus menghantui. Pun persatuan ummat seperti panggang jauh dari api dan Ramadhan berlalu begitu saja, yang terkenang hanya lapar dan dahaga.
Penutup
Inginnya Penulis memaparkan lebih banyak fenomena yang terjadi di keseharian Ramadhan yang membuat gelisah, geram sekaligus menyayangkan mengapa hal itu bisa terjadi. Yang saat seharusnya Ramadhan mampu menjadi momentum perubahan ummat Islam tetapi terakhir hanya menjadi agenda tahunan dan berlalu begitu saja. Sejatinya Ramadhan kita bernilai transormatif karena suka atau tidak suka Alquranlah yang memintanya seperti itu.
Wallahua'lam.

Ditulis oleh Instruktur Senior HMI Cabang Medan, Khalid Bardady Lubis
Foto diambil dari https://haloponsel.com


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »