Quo Vadis Sistem Pendidikan Indonesia

2/08/2018
Setelah hampir 12 tahun calon penerus bangsa Indonesia dicekoki dengan sistem pendidikan yang umumnya anti-dialogis, maka sudah seharusnya para pelajar atau mahasiswa bisa berpikir cerdas dan bebas untuk setidaknya membebaskan diri dari metode pendidikan jenis ini.
Mengutip grand design mengenai pendidikan dari Paulo Freire (1921-1997), jika pendidikan menjadikan mahasiswa atau pelajar bahkan masyarakat sebagai objek belajar (murid yang harus dipaksa menerima dalil ilmu) dengan ciri khas anti-dialogis maka di sinilah terjadi proses dehumanisasi, yaitu proses penghilangan harkat manusia. Hal ini disebabkan karena fitrah seorang manusia yang harusnya bebas berpikir, berkehendak dan memilih dihambat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perkembangan yang signifikan. Bisa kita bayangkan, berapa banyak sekolah atau institusi pendidikan yang murid atau pelajarnya ‘segan’ atau takut dalam menyampaikan pendapat selama proses belajar mengajar berlangsung. Dalam satu ruangan, paling tidak hanya 5 % pelajar yang berani mengungkapkan pendapatnya sesuai bidang ilmu yang dipelajari.  Pendidikan dengan metode ini disebut pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank karena dalam proses belajar mengajar, guru atau dosen dan tenaga pengajar lainnya tidak memberikan pengertian kepada siswa/mahasiswa, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada objek belajar tersebut untuk kemudian harus dikeluarkan dalam bentuk yang sama. Dan ketika pelajar tidak mampu mengeluarkan dalil atau rumusan yang diajarkan, maka dianggap tidak mampu dan kapabel dalam mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini persis seperti konsep menyimpan uang di bank, berapa jumlah uang yang Anda simpan di bank, maka sebanyak itulah yang akan dapat Anda tarik kembali di saat Anda memerlukannya. Ya, inilah yang pada akhirnya menelurkan penerus bangsa seorang penghapal ulung bukan pemikir ulung. Hasil dari pendidikan jenis ini adalah “robot” atau “beo”, yaitu orang – orang yang pintar menghapal, kepalanya dipenuhi dengan teori yang begitu banyak, namun canggung dalam lingkungan sosial.
Berikut ini adalah ciri-ciri pendidikan “gaya bank” :
1.Guru mengajar, murid belajar
2.Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3.Guru berpikir, murid dipikirkan
4.Guru mengatur, murid diatur
5.Guru berbicara, murid diam
6.Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya
Masih relevankah sistem pendidikan seperti ini yang pada akhirnya akan menyebabkan dehumanisasi, bukan humanisasi? Padahal kita tahu bersama bahwa esensi dan muara dari seluruh proses pendidikan yang kita jalankan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi adalah humanizing human, memanusiakan manusia. Berdasarkan hal ini, maka sudah seharusnya konsep pendidikan yang diterapkan adalah konsep yang mampu mendidik dan mewujudkan manusia yang sesungguhnya. Manusia diberi kelebihan berupa akal, akal digunakan untuk berpikir, menganalisis dan memaknai ilmu atau pengalaman yang diperoleh. Oleh karena itu, konsep yang seharusnya digunakan adalah Problem possing education (pendidikan terhadap masalah). Pendidikan jenis ini menitikberatkan pada proses dialektika yang berasal dari kata dialog, yaitu proses komunikasi dua arah antara tenaga pengajar dan pelajar. Setelah itu akan terjadi model dialektika berupa pembentukan tesis - antitesis - sintesis, mudahnya seperti proses “trial and error.” Siswa atau mahasiswa diberi masalah yang berkaitan dengan profesi keilmuan yang ditekuni dan dibimbing untuk mencari solusinya, pada akhirnya akan terjadi proses dialektika (tesis - antitesis - sintesis). Pada konsep pendidikan seperti ini, maka kesalahan - kesalahan yang dilakukan oleh pelajar selama proses belajar mengajar adalah bagian menuju pematangan keilmuan dan karakternya. Proses dialog - aksi - refleksi dan dialektika ini akan terjadi secara berulang. Setiap kali sebuah proses dialektika terjadi, akan dilanjutkan dengan dialektika berikutnya. 

Sistem pendidikan ini sudah digunakan dan diterapkan sepenuhnya di negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, yaitu Finlandia. Finlandia berhasil mencapai nilai tertinggi dalam keberhasilan sistem pendidikan berdasarkan survei PISA pada tahun 2000,2003, dan 2006. Survei dilakukan dengan mengukur kemampuan matematika, membaca, dan problem solving (pemecahan masalah) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Lantas apa yang menjadi pembeda antara sistem pendidikan di Finlandia dan negara – negara lainnya termasuk Indonesia? Tentunya jika kita membandingkannya maka akan banyak faktor yang menyebabkan sistem pendidikan di Finlandia lebih baik dari sistem pendidikan di negara lainnya, baik dari konsep pendidikan, kurikulum, seleksi SDM untuk tenaga pengajar, dan lain sebagainya. Salah satu perbedaan tersebut adalah adanya otonomi atau independensi dari tenaga pengajar dan juga pelajar. Bahkan, pelajar diberikan kebebasan untuk menentukan jadwal ujian untuk mata pelajaran yang menurut mereka telah dikuasai, begitu juga tenaga pengajar dan sekolah memiliki kebebasan untuk menentukan kurikulum dan evaluasi belajar, sehingga tidak ada intervensi dari pemerintah sama sekali dalam mengevaluasi hasil dari sistem pendidikan yang dijalankan. Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan sistem pendidikan di Finlandia dengan negara – negara lainnya.
Berikut beberapa hal dalam teknis pelaksanaan sistem pendidikan Finlandia yang berbeda dengan Indonesia : (1) Finlandia memulai sekolah anak saat mereka berusia tujuh tahun, berbeda dengan Indonesia, yang orangtua justru bangga ketika anaknya mampu sekolah di bawah usia 7 tahun, (2) Kemampuan pelajar tidak diukur melalui ranking selama pendidikan dasar enam tahun, berbeda dengan Indonesia yang para pelajar sudah tertekan lebih dahulu karena harus mengejar rank tertinggi, (3) Evaluasi secara komprehensif melalui ujian nasional hanya dilakukan sekali yaitu pada saat 16 tahun ketika pendidikan dasar berakhir, bandingkan dengan pelajar Indonesia yang harus melewati Ujian Nasional sebanyak tiga kali (SD, SMP, dan SMA) ditambah dengan ujian – ujian selama sekolah setiap beberapa bulan sekali, (4) Tidak terdapat kelas unggulan dan non-unggulan, berbeda dengan sistem perkelasan di Indonesia yang mengurutkan kelas pelajar sesuai kemampuannya sehingga terbentuk “kasta” dalam dunia pendidikan.
Walaupun sistem pendidikan yang ada di Indonesia saat ini sudah berkonsep “problem based learning”, “student centre learning”, dan istilah lainnya yang memiliki makna yang sama, namun perangkat yang menjalankan sistem ini belum sadar dan optimal dalam melaksanakannya, baik dari siswa atau mahasiswa yang tidak sadar bahwa masalah sangat diperlukan dalam proses pengembangan diri, maupun tenaga pengajar yang masih senang bernostalgia dan belum move on dari sistem lama yang umumnya mengakibatkan proses belajar mengajar yang kaku, tidak kreatif dan tidak inovatif. Hal ini berujung pada kemandekan berpikir dan nalar pada pelajar. Pada akhirnya sistem yang sudah dikemas sedemikian rupa, tak berjalan dengan baik.
Pendidikan dengan konsep problem possing education inilah yang masih jarang diimplementasikan sampai pada hari ini. Kesimpulannya adalah, di manapun kita belajar, siapapun guru kita, seberapa mahal biaya sekolah atau kuliah kita, jika kita merasa metode pendidikan yang kita jalani berciri-ciri seperti konsep pendidikan yang pertama, maka kita sedang berjalan mundur menuju dehumanisasi, bukan humanisasi. Kita hanya akan menjadi robot-robot penerus bangsa yang hapal sejumlah teori dan dalil namun tidak mampu memanfaatkannya untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa teori merupakan pondasi, namun proses setelah penerimaan teori adalah trigger untuk mengembangkan akal dan nalar kita. Maka, untuk memperbaiki kesemrawutan yang ada serta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai preambule UUD 1945, perlulah kiranya kita menyadari bahwa sebagai tenaga pengajar ataupun pelajar kita harus mengimplementasikan sistem yang sudah diatur sedemikian rupa dalam proses belajar mengajar sehari – hari serta mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat pada sistem yang sedang berjalan.

Penulis Dendy Dwi Rizki Gunawan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »