Menakar Sifat Profetik Kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto

2/15/2018
bolokajiblog- Manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan pemimpin dimuka bumi (khalifah fil ardhi) dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata untuk kehadirat sang pencipta.. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pemimpin” mempunya arti yaitu orang yang memimpin. Dapat disimpulkan bahwasanya pemimpin mempunyai objek yang dipimpinnya setidak-tidaknya adalah memimpin dirinya sendiri. Dalam aktivitasnya, si pemimpin tentunya harus memiliki sifat “kepemimpinan” yang dapat mengarahkan apa yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan dan cita-cita bersama antara si pemimpin dan yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam KBBI juga mempunyai arti yaitu, perihal pimpinan; cara memimpin. Antara “pimpinan” dan “kepemimpinan” tentunya mempunyai korelasi yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik memimpin (leadership). Namun kedua hal tersebut sangatlah berbeda. Pimpinan dapat disetarakan dengan Ketua, Kepala, atau istilah pimpinan lainnya. Sedangkan “kepemimpinan” lebih mengarah kepada gaya, cara, atau seni yang harus dimiliki setiap pimpinan. Banyak cara, gaya, atau seni memimpin yang dilakukan oleh para pemimpin di dunia mulai dari otoriter sampai totaliter (melayani). Selain itu terdapat juga beberapa teori kepemimpinan. Menurut Robbins dalam Sus Budiharto dan Fathul Himan (2005: 136), teori kepemimpinan yang paling mutakhir antara lain berhubungan dengan demoralitas atau spiritualitas. Sumber moralitas atau spiritualitasnya bisa dari mana saja termasuk dari Islam.

Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam KBBI, profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal (Filsuf Muslim asal India abad ke-20). Iqbal mendeskripsikan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW ber Mi’raj, beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi SAW tidak hanya menikmati kebahagiaannya berjumpa dengan Allah SWT, dan melupakan masyarakatnya. Dengan demikian, pengertian profetik disini adalah melaksanakan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai dan pola kenabian. Dalam hal ini adalah kepemimpinan. Kepemimpinan profetik berarti gaya atau seni memimpin berdasarkan nilai-nilai dan pola kenabian. Kekuatan kepemimpinan profetik inilah yang penulis lihat dan cermati ada pada sosok Haji Oemar Said Tjoroaminoto. Dan hal ini pulalah yang coba penulis urai dalam tulisan ini.
HOS Tjoroaminoto merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir pada Rabu, 16 Agustus 1882 di Ponorogo. Dibawah kepemimpinan beliaulah organisasi Sarekat Islam berada pada masa kejayaan sekaligus mengantarkan beliau menjadi salah satu tokoh pergerakan kebangkitan nasional. Tak salah penulis menempatkan beliau menjadi salah satu tokoh idola baik didalam kehidupan berorganisasi, pergerakan, dan bersosial. Pola kekuatan kepemimpinan profetik yang beliau parktikkan tergambar melalui salah satu trilogi termasyhur yang pernah beliau ungkapkan dalam pidato beliau untuk membakar semangat juang anggota Sarekat Islam dalam melawan kolonialisme penjajah yaitu, “Semurni-murni Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, dan Sepintar-pintar Siasat”. Didalam triolgi tersebut penulis menafsirkan, bahwasanya dasar-dasar kepercayaan yang kuat dalam ketauhidan harus ditopang dengan keinginan mencari ilmu yang setinggi-tingginya sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW, “tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat” untuk mencapai solusi dan penyelesaian penjajahan dalam mencapai kemerdekaan. Semangat inilah yang menjadi gambaran apa yang harus dimiliki oleh setiap pejuang kebangkitan nasional khususnya Sarekat Islam dalam mencapai kemerdekaan atas penjajah. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan Sanerya Hendrawan (2009: 158), bahwa kekuatan kepemimpinan profetik ini, terletak pada kondisi spiritualitas pemimpinnya. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang yang telah selesai memimpin dirinya sehingga upaya mempengaruhi orang lain atau memimpin sesuai dengan keteladanan terhadap Rasulullah SAW. Selain itu, karya beliau buku Islam dan Sosialisme menurut tafsiran penulis beliau menjelaskan bahwasanya tidak ada yang salah dengan Karl Marx dan Engels tetapi mengapa beberapa diantara kita terjebak dengan sosialismenya Karl Marx dan Engels sedangkan Rasulullah SAW sudah mempraktikkan sosialisme jauh sebelum mereka. Didalam buku Islam dan Sosialisme Tjoroaminoto menuliskan, “adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu. Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada era kepemimpinan Nabi Muhammad, tidak terlepas dari prinsip-prinsip sosialisme yang diterpkan oleh Rasulullah dalam mengatur pemerintahan dan upaya memperluas wilayah, termassuk dengan menjadikan semua tanah yang dikuasai menjadi milik negara. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam telah melancarkan dirinya ke negri-negri luar” (Islam dan Sosialisme, 1963: 10). 
Lebih lanjut kepemimpinan profetik yang Tjokroaminoto wujudkan, berdasarkan buku Islam dan Sosialisme  beliau bagi menjadi tiga prinsip sosialisme yang menurut beliau merupakan kunci kejayaan pemerintahan Islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Yang pertama yaitu Kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang dapat menyatukan umat Islam itu. Dalam perspektif penulis, ketiga prinsip diatas dapat disimpulkan menjadi tujuan humanisasi (memanusiakan manusia) dan tujuan liberasi (pembebasan belenggu penjajahan) sesuai dengan pertentangan beliau yang menganggap bahwasanya kolonialisasi yang dipraktikkan oleh penjajah memandang bahwasanya masyarakat Indonesia yang dijajah adalah sapi perahan yang hanya diambil susu dan dagingnya tanpa kesejahterahan. Hal ini menurut penulis merupakan inspirasi teologis dan pola kenabian yang melandasi Tjoroaminoto didalam perumusan Islam dan Sosialisme tersebut. Sifat kepemimpinan profetik HOS Tjokroaminoto inilah yang penulis fikir mampu menghasilkan tokoh-tokoh bekas murid beliau sekaliber Ir. Soekarno, Semaoen, Alimin, Kartosuwirjo, Musso, Hamka, sehingga tak heran jika beliau di beri predikat sebagai Guru Bangsa. Bahkan Abdul Malik Karim Amrullah saat itu masih berusia belasan tahun ketika pertama kali bertatap muka dengan beliau. Malik rutin mengikuti kursus yang diselenggarakan SI di Yogyakarta pada pertengahan era 1920-an. Tjokroaminoto mengampu materi tentang Islam dan Sosialisme. Malik berkata, “Beliau dalam kursusnya tidak mencela Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya sebab teori Histori Materialisme mereka telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung sebab tidak perlu mengambil teori yang lain lagi”, sebut Malik (Amelz, HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, 1952: 36). Putra Minang yang sudah merantau ke Jawa sejak usia 16 tahun ini memang sangat mengidolakan dan mengagumi sosok HOS Tjokroaminoto sama dengan penulis. “Bilamana tiba giliran beliau, Tjokroaminoto, mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah-wajah para kursusisten (peserta kursus). Saya seakan-akan bermimpi, sebab akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi jiwaku”, kenang Malik. Malik murid Tjokroaminoto sang Guru Bangsa , kelak dikenal dengan Buya Hamka salah satu tokoh besar di Negeri ini. Sejatinya sifat kepemimpinan profetik inilah yang seharusnya disadur oleh pemimpin-pemimpin di dunia, khususya penulis sendiri. Semoga tulisan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Aamiin. Kepada para pembaca mohon arahan dan bimbingan apabila tulisan saya ini masih terdapat kesalahan dan kekeliruan didalam penulisannya. Yakin Usaha Sampai !! 

Medan, 14 Februari 2018 
Penulis Muhammad Ardiyansyah

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »