Islam dan Ilmu Pengetahuan

2/22/2018 Add Comment
bolokaji- Islam merupakan ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT sebagai ajaran yang haq lagi sempurna untuk mengatur umat manusia dalam berkehidupan. Ajaran Islam menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar. 
Orang yang beragama Islam disebut seorang Muslim. Bagi seorang Muslim, iman adalah bagian paling mendasar dari kesadaran keagamaannya. Iman sering diperbincangkan dalam pertemuaan keagaaman dan sering menjadi pertanyaan “Sudahkah kita beriman?” “Sebesar apa keimanan kita?” dalam berbagai makna dan tafsirannya, sebagai rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Iman sangat erat kaitannya dengan amal. Ketika muslim beriman pasti akan mengerjakan amalannya sebaik mungkin. Iman dan amal membentuk pola segitiga dengan ilmu yang melengkapi peran umat manusia yang kukuh dan benar di mukabumi. Seolah menengahi antara iman dan amal itu dari suatu segi sebagaimana ibadah juga menengahi antara keduanya dari segi yang lain.
Posisi ilmu menjadi bagian penting dalam esensi ajaran islam. Hal ini juga banyak menimbulkan perdebatan antara iman yang didahulukan atau ilmu. Terlepas dari itu, iman dan ilmu menjadi dua unsur yang sangat erat dalam menjalankan amalan di dunia. Manusia sejatinya dalam menjalankan perannya di dunia cenderung kepada kebenaran (hanief) dan proses mencari kebenaran tersebut membutuhkan ilmu. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian ilmu pengetahuan dan objek pengetahuan.
Dalam konsep filsafat ilmu yang saya ketahui, pemakaian kata ilmu setidaknya ada tiga makna yang dikandungnya yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Ilmu secara umum diartikan dengan pengetahuan (knowledge). Namun pengetahuan yang dimaksud adalah kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (a systematic body of knowledge). Sering dinyatakan ilmu adalah pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method).
Mengutip dari buku Islam Mazhab HMI karya Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag "manusia harus menyadari dengan benar posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi dengan memanfaatkan dan memelihara alam untuk kepentingan seluruh makhluk. Tugas ini akan terlaksana dengan baik jika manusia memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi."
Umat Islam seharusnya menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, apalagi yang bersumber dari Islam sendiri. Islam menyediakan sumber ilmu pengetahuan melalui panduan firman Allah SWT yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang ilmiah banyak ilmuwan muslim yang mendapatkan inspirasi untuk melakukan penelitian-penelitian. Umat islam sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yang dibawa dari Yunani Kuno. Hal ini terlihat dari munculnya para filsuf muslim diantaranya ialah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (sekitar 257 H/870 M). Al-Kindi secara khusus dikenal sebagai filsuf bangsa Arab (faylasūf al-‘Arab). Dilain hal ada Al- Khawarizmi dari Khiva seorang yang ahli dalam ilmu matematika dan dipandang orang yang pertama kali menemukan teori al-Jabar. Kemudian ada Al- Biruni (973-1048) seorang ahli astronomi yang berhasil menentukan secara akurat garis lintang dan bujur. Beberapa ilmuwan muslim dari disiplin ilmu yang lain masih banyak dan tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Sejarah inilah yang menjadikan masa kejayaan umat islam dengan ilmu pengetahuannya, berbanding terbalik dengan bangsa eropa yang berada dalam kegelapan.
Pengetahuan modern merupakan tingkat-mutakhir perkembangan peradaban umat manusia secara keseluruhan karena berbagai hal, kebetulan dimulai oleh bangsa-bangsa dari kawasan Eropa Barat Laut. Ciri peradaban mutakhir itu ialah teknologi. Teknologi ini, pada gilirannya, ditopang oleh suatu sistem kognitif yang dilandasi oleh empirisisme. Inilah yang kita maksudkan dengan ilmu pengetahuan modern. Selain empirisisme yang amat menonjol, ilmu pengetahuan modern juga berbeda dengan ilmu pengetahuan klasik karena sikapnya yang selalu memandang kedepan, sehingga ilmu pengetahuan menjadi tidak berhenti pada suatu tapal batas (frontier). Oleh karena itu, eksplorasi dan riset (research) merupakan bagian mutlak ilmu pengetahuan modern.
Dizaman sekarang atau istilah familiarnya “Zaman Now” yang merupakan era modern, perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh bangsa Eropa dan Amerika. Umat muslim seakan “Mengaminkan” bahwasannya ilmu pengetahuan modern berasal dari bangsa Barat. Sungguh sebuah realita yang menyedihkan karena Islam pernah menjadi “Guru” pada masa “Jahiliyyah” oleh bangsa barat namu pada saat ini Islam yang menjadi konsumen teknologi karya“Murid” nya.
Melihat kondisi ketertinggalan Islam, sebagai seseorang yang memegang predikat mahasiswa pastinya saya mendapat tekanan besar dengan kondisi ilmu pengetahuan saat ini. Mahasiswa muslim diharuskan mempunyai kemampuan kognitif tinggi, afektif baik dan cekatan dari segi psikomotorik sebagai modal diri dalam proses mencari kebenaran. Al-Qur’an yang menuangkan firman Allah SWT sebagai sumber ilmu pengetahuan alam semesta harus dapat diobservasi dan memformulasikannya untuk menjawab tantangan ilmu pengetahuan modern.
Akhir kata “Siapkah Anda Menjadi Salah Satu Ilmuwan Muslim Penantang Ilmu Pengetahuan Modern?”


Penulis :Rahmad Hanif, Ketua Umum HMI Komisariat FKG USU Periode 2016-2017

Foto diambil dari slideshare.net

Menakar Sifat Profetik Kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto

2/15/2018 Add Comment
bolokajiblog- Manusia sesuai dengan fitrahnya merupakan pemimpin dimuka bumi (khalifah fil ardhi) dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata untuk kehadirat sang pencipta.. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pemimpin” mempunya arti yaitu orang yang memimpin. Dapat disimpulkan bahwasanya pemimpin mempunyai objek yang dipimpinnya setidak-tidaknya adalah memimpin dirinya sendiri. Dalam aktivitasnya, si pemimpin tentunya harus memiliki sifat “kepemimpinan” yang dapat mengarahkan apa yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan dan cita-cita bersama antara si pemimpin dan yang dipimpinnya. Kepemimpinan dalam KBBI juga mempunyai arti yaitu, perihal pimpinan; cara memimpin. Antara “pimpinan” dan “kepemimpinan” tentunya mempunyai korelasi yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik memimpin (leadership). Namun kedua hal tersebut sangatlah berbeda. Pimpinan dapat disetarakan dengan Ketua, Kepala, atau istilah pimpinan lainnya. Sedangkan “kepemimpinan” lebih mengarah kepada gaya, cara, atau seni yang harus dimiliki setiap pimpinan. Banyak cara, gaya, atau seni memimpin yang dilakukan oleh para pemimpin di dunia mulai dari otoriter sampai totaliter (melayani). Selain itu terdapat juga beberapa teori kepemimpinan. Menurut Robbins dalam Sus Budiharto dan Fathul Himan (2005: 136), teori kepemimpinan yang paling mutakhir antara lain berhubungan dengan demoralitas atau spiritualitas. Sumber moralitas atau spiritualitasnya bisa dari mana saja termasuk dari Islam.

Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam KBBI, profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal (Filsuf Muslim asal India abad ke-20). Iqbal mendeskripsikan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW ber Mi’raj, beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi SAW tidak hanya menikmati kebahagiaannya berjumpa dengan Allah SWT, dan melupakan masyarakatnya. Dengan demikian, pengertian profetik disini adalah melaksanakan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai dan pola kenabian. Dalam hal ini adalah kepemimpinan. Kepemimpinan profetik berarti gaya atau seni memimpin berdasarkan nilai-nilai dan pola kenabian. Kekuatan kepemimpinan profetik inilah yang penulis lihat dan cermati ada pada sosok Haji Oemar Said Tjoroaminoto. Dan hal ini pulalah yang coba penulis urai dalam tulisan ini.
HOS Tjoroaminoto merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir pada Rabu, 16 Agustus 1882 di Ponorogo. Dibawah kepemimpinan beliaulah organisasi Sarekat Islam berada pada masa kejayaan sekaligus mengantarkan beliau menjadi salah satu tokoh pergerakan kebangkitan nasional. Tak salah penulis menempatkan beliau menjadi salah satu tokoh idola baik didalam kehidupan berorganisasi, pergerakan, dan bersosial. Pola kekuatan kepemimpinan profetik yang beliau parktikkan tergambar melalui salah satu trilogi termasyhur yang pernah beliau ungkapkan dalam pidato beliau untuk membakar semangat juang anggota Sarekat Islam dalam melawan kolonialisme penjajah yaitu, “Semurni-murni Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, dan Sepintar-pintar Siasat”. Didalam triolgi tersebut penulis menafsirkan, bahwasanya dasar-dasar kepercayaan yang kuat dalam ketauhidan harus ditopang dengan keinginan mencari ilmu yang setinggi-tingginya sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW, “tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat” untuk mencapai solusi dan penyelesaian penjajahan dalam mencapai kemerdekaan. Semangat inilah yang menjadi gambaran apa yang harus dimiliki oleh setiap pejuang kebangkitan nasional khususnya Sarekat Islam dalam mencapai kemerdekaan atas penjajah. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan Sanerya Hendrawan (2009: 158), bahwa kekuatan kepemimpinan profetik ini, terletak pada kondisi spiritualitas pemimpinnya. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang yang telah selesai memimpin dirinya sehingga upaya mempengaruhi orang lain atau memimpin sesuai dengan keteladanan terhadap Rasulullah SAW. Selain itu, karya beliau buku Islam dan Sosialisme menurut tafsiran penulis beliau menjelaskan bahwasanya tidak ada yang salah dengan Karl Marx dan Engels tetapi mengapa beberapa diantara kita terjebak dengan sosialismenya Karl Marx dan Engels sedangkan Rasulullah SAW sudah mempraktikkan sosialisme jauh sebelum mereka. Didalam buku Islam dan Sosialisme Tjoroaminoto menuliskan, “adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu. Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada era kepemimpinan Nabi Muhammad, tidak terlepas dari prinsip-prinsip sosialisme yang diterpkan oleh Rasulullah dalam mengatur pemerintahan dan upaya memperluas wilayah, termassuk dengan menjadikan semua tanah yang dikuasai menjadi milik negara. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam telah melancarkan dirinya ke negri-negri luar” (Islam dan Sosialisme, 1963: 10). 
Lebih lanjut kepemimpinan profetik yang Tjokroaminoto wujudkan, berdasarkan buku Islam dan Sosialisme  beliau bagi menjadi tiga prinsip sosialisme yang menurut beliau merupakan kunci kejayaan pemerintahan Islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Yang pertama yaitu Kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang dapat menyatukan umat Islam itu. Dalam perspektif penulis, ketiga prinsip diatas dapat disimpulkan menjadi tujuan humanisasi (memanusiakan manusia) dan tujuan liberasi (pembebasan belenggu penjajahan) sesuai dengan pertentangan beliau yang menganggap bahwasanya kolonialisasi yang dipraktikkan oleh penjajah memandang bahwasanya masyarakat Indonesia yang dijajah adalah sapi perahan yang hanya diambil susu dan dagingnya tanpa kesejahterahan. Hal ini menurut penulis merupakan inspirasi teologis dan pola kenabian yang melandasi Tjoroaminoto didalam perumusan Islam dan Sosialisme tersebut. Sifat kepemimpinan profetik HOS Tjokroaminoto inilah yang penulis fikir mampu menghasilkan tokoh-tokoh bekas murid beliau sekaliber Ir. Soekarno, Semaoen, Alimin, Kartosuwirjo, Musso, Hamka, sehingga tak heran jika beliau di beri predikat sebagai Guru Bangsa. Bahkan Abdul Malik Karim Amrullah saat itu masih berusia belasan tahun ketika pertama kali bertatap muka dengan beliau. Malik rutin mengikuti kursus yang diselenggarakan SI di Yogyakarta pada pertengahan era 1920-an. Tjokroaminoto mengampu materi tentang Islam dan Sosialisme. Malik berkata, “Beliau dalam kursusnya tidak mencela Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya sebab teori Histori Materialisme mereka telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung sebab tidak perlu mengambil teori yang lain lagi”, sebut Malik (Amelz, HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, 1952: 36). Putra Minang yang sudah merantau ke Jawa sejak usia 16 tahun ini memang sangat mengidolakan dan mengagumi sosok HOS Tjokroaminoto sama dengan penulis. “Bilamana tiba giliran beliau, Tjokroaminoto, mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah-wajah para kursusisten (peserta kursus). Saya seakan-akan bermimpi, sebab akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi jiwaku”, kenang Malik. Malik murid Tjokroaminoto sang Guru Bangsa , kelak dikenal dengan Buya Hamka salah satu tokoh besar di Negeri ini. Sejatinya sifat kepemimpinan profetik inilah yang seharusnya disadur oleh pemimpin-pemimpin di dunia, khususya penulis sendiri. Semoga tulisan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Aamiin. Kepada para pembaca mohon arahan dan bimbingan apabila tulisan saya ini masih terdapat kesalahan dan kekeliruan didalam penulisannya. Yakin Usaha Sampai !! 

Medan, 14 Februari 2018 
Penulis Muhammad Ardiyansyah

Quo Vadis Sistem Pendidikan Indonesia

2/08/2018 Add Comment
Setelah hampir 12 tahun calon penerus bangsa Indonesia dicekoki dengan sistem pendidikan yang umumnya anti-dialogis, maka sudah seharusnya para pelajar atau mahasiswa bisa berpikir cerdas dan bebas untuk setidaknya membebaskan diri dari metode pendidikan jenis ini.
Mengutip grand design mengenai pendidikan dari Paulo Freire (1921-1997), jika pendidikan menjadikan mahasiswa atau pelajar bahkan masyarakat sebagai objek belajar (murid yang harus dipaksa menerima dalil ilmu) dengan ciri khas anti-dialogis maka di sinilah terjadi proses dehumanisasi, yaitu proses penghilangan harkat manusia. Hal ini disebabkan karena fitrah seorang manusia yang harusnya bebas berpikir, berkehendak dan memilih dihambat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perkembangan yang signifikan. Bisa kita bayangkan, berapa banyak sekolah atau institusi pendidikan yang murid atau pelajarnya ‘segan’ atau takut dalam menyampaikan pendapat selama proses belajar mengajar berlangsung. Dalam satu ruangan, paling tidak hanya 5 % pelajar yang berani mengungkapkan pendapatnya sesuai bidang ilmu yang dipelajari.  Pendidikan dengan metode ini disebut pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank karena dalam proses belajar mengajar, guru atau dosen dan tenaga pengajar lainnya tidak memberikan pengertian kepada siswa/mahasiswa, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada objek belajar tersebut untuk kemudian harus dikeluarkan dalam bentuk yang sama. Dan ketika pelajar tidak mampu mengeluarkan dalil atau rumusan yang diajarkan, maka dianggap tidak mampu dan kapabel dalam mengikuti proses belajar mengajar. Hal ini persis seperti konsep menyimpan uang di bank, berapa jumlah uang yang Anda simpan di bank, maka sebanyak itulah yang akan dapat Anda tarik kembali di saat Anda memerlukannya. Ya, inilah yang pada akhirnya menelurkan penerus bangsa seorang penghapal ulung bukan pemikir ulung. Hasil dari pendidikan jenis ini adalah “robot” atau “beo”, yaitu orang – orang yang pintar menghapal, kepalanya dipenuhi dengan teori yang begitu banyak, namun canggung dalam lingkungan sosial.
Berikut ini adalah ciri-ciri pendidikan “gaya bank” :
1.Guru mengajar, murid belajar
2.Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3.Guru berpikir, murid dipikirkan
4.Guru mengatur, murid diatur
5.Guru berbicara, murid diam
6.Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya
Masih relevankah sistem pendidikan seperti ini yang pada akhirnya akan menyebabkan dehumanisasi, bukan humanisasi? Padahal kita tahu bersama bahwa esensi dan muara dari seluruh proses pendidikan yang kita jalankan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi adalah humanizing human, memanusiakan manusia. Berdasarkan hal ini, maka sudah seharusnya konsep pendidikan yang diterapkan adalah konsep yang mampu mendidik dan mewujudkan manusia yang sesungguhnya. Manusia diberi kelebihan berupa akal, akal digunakan untuk berpikir, menganalisis dan memaknai ilmu atau pengalaman yang diperoleh. Oleh karena itu, konsep yang seharusnya digunakan adalah Problem possing education (pendidikan terhadap masalah). Pendidikan jenis ini menitikberatkan pada proses dialektika yang berasal dari kata dialog, yaitu proses komunikasi dua arah antara tenaga pengajar dan pelajar. Setelah itu akan terjadi model dialektika berupa pembentukan tesis - antitesis - sintesis, mudahnya seperti proses “trial and error.” Siswa atau mahasiswa diberi masalah yang berkaitan dengan profesi keilmuan yang ditekuni dan dibimbing untuk mencari solusinya, pada akhirnya akan terjadi proses dialektika (tesis - antitesis - sintesis). Pada konsep pendidikan seperti ini, maka kesalahan - kesalahan yang dilakukan oleh pelajar selama proses belajar mengajar adalah bagian menuju pematangan keilmuan dan karakternya. Proses dialog - aksi - refleksi dan dialektika ini akan terjadi secara berulang. Setiap kali sebuah proses dialektika terjadi, akan dilanjutkan dengan dialektika berikutnya. 

Sistem pendidikan ini sudah digunakan dan diterapkan sepenuhnya di negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, yaitu Finlandia. Finlandia berhasil mencapai nilai tertinggi dalam keberhasilan sistem pendidikan berdasarkan survei PISA pada tahun 2000,2003, dan 2006. Survei dilakukan dengan mengukur kemampuan matematika, membaca, dan problem solving (pemecahan masalah) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Lantas apa yang menjadi pembeda antara sistem pendidikan di Finlandia dan negara – negara lainnya termasuk Indonesia? Tentunya jika kita membandingkannya maka akan banyak faktor yang menyebabkan sistem pendidikan di Finlandia lebih baik dari sistem pendidikan di negara lainnya, baik dari konsep pendidikan, kurikulum, seleksi SDM untuk tenaga pengajar, dan lain sebagainya. Salah satu perbedaan tersebut adalah adanya otonomi atau independensi dari tenaga pengajar dan juga pelajar. Bahkan, pelajar diberikan kebebasan untuk menentukan jadwal ujian untuk mata pelajaran yang menurut mereka telah dikuasai, begitu juga tenaga pengajar dan sekolah memiliki kebebasan untuk menentukan kurikulum dan evaluasi belajar, sehingga tidak ada intervensi dari pemerintah sama sekali dalam mengevaluasi hasil dari sistem pendidikan yang dijalankan. Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan sistem pendidikan di Finlandia dengan negara – negara lainnya.
Berikut beberapa hal dalam teknis pelaksanaan sistem pendidikan Finlandia yang berbeda dengan Indonesia : (1) Finlandia memulai sekolah anak saat mereka berusia tujuh tahun, berbeda dengan Indonesia, yang orangtua justru bangga ketika anaknya mampu sekolah di bawah usia 7 tahun, (2) Kemampuan pelajar tidak diukur melalui ranking selama pendidikan dasar enam tahun, berbeda dengan Indonesia yang para pelajar sudah tertekan lebih dahulu karena harus mengejar rank tertinggi, (3) Evaluasi secara komprehensif melalui ujian nasional hanya dilakukan sekali yaitu pada saat 16 tahun ketika pendidikan dasar berakhir, bandingkan dengan pelajar Indonesia yang harus melewati Ujian Nasional sebanyak tiga kali (SD, SMP, dan SMA) ditambah dengan ujian – ujian selama sekolah setiap beberapa bulan sekali, (4) Tidak terdapat kelas unggulan dan non-unggulan, berbeda dengan sistem perkelasan di Indonesia yang mengurutkan kelas pelajar sesuai kemampuannya sehingga terbentuk “kasta” dalam dunia pendidikan.
Walaupun sistem pendidikan yang ada di Indonesia saat ini sudah berkonsep “problem based learning”, “student centre learning”, dan istilah lainnya yang memiliki makna yang sama, namun perangkat yang menjalankan sistem ini belum sadar dan optimal dalam melaksanakannya, baik dari siswa atau mahasiswa yang tidak sadar bahwa masalah sangat diperlukan dalam proses pengembangan diri, maupun tenaga pengajar yang masih senang bernostalgia dan belum move on dari sistem lama yang umumnya mengakibatkan proses belajar mengajar yang kaku, tidak kreatif dan tidak inovatif. Hal ini berujung pada kemandekan berpikir dan nalar pada pelajar. Pada akhirnya sistem yang sudah dikemas sedemikian rupa, tak berjalan dengan baik.
Pendidikan dengan konsep problem possing education inilah yang masih jarang diimplementasikan sampai pada hari ini. Kesimpulannya adalah, di manapun kita belajar, siapapun guru kita, seberapa mahal biaya sekolah atau kuliah kita, jika kita merasa metode pendidikan yang kita jalani berciri-ciri seperti konsep pendidikan yang pertama, maka kita sedang berjalan mundur menuju dehumanisasi, bukan humanisasi. Kita hanya akan menjadi robot-robot penerus bangsa yang hapal sejumlah teori dan dalil namun tidak mampu memanfaatkannya untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa teori merupakan pondasi, namun proses setelah penerimaan teori adalah trigger untuk mengembangkan akal dan nalar kita. Maka, untuk memperbaiki kesemrawutan yang ada serta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai preambule UUD 1945, perlulah kiranya kita menyadari bahwa sebagai tenaga pengajar ataupun pelajar kita harus mengimplementasikan sistem yang sudah diatur sedemikian rupa dalam proses belajar mengajar sehari – hari serta mengevaluasi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat pada sistem yang sedang berjalan.

Penulis Dendy Dwi Rizki Gunawan

Bereskan Hal Kecil Terlebih Dahulu

2/08/2018 Add Comment
bolokajiblog- Ketika saya berbicara dalam sebuah konferensi atau hadir dalam acara penandatanganan buku, kadang orang becerita bahwa mereka juga ingin menulis buku. “Bagaimana cara memulai?” tanya mereka.
“Berapa banyak tulisan yang sudah Anda buat?” Saya balik bertanya.
Sebagian menyebut-nyebut artikel atau tulisan lain yang sedang mereka tulis, dan saya hanya coba menyemangati mereka, tetapi sering terjadi mereka menjawab malu, “Anu, sebenarnya saya masih belum menulis apa-apa.”
“Kalau begitu, Anda perlu mulai menulis,” jelas saya. “Anda harus mulai dengan yang kecil dan meningkatkannya sedikit demi sedikit.”
Sama halnya dengan kepemimpinan. Anda harus mulai dengan hal kecil dan meningkatkannya sedikit demi sedikit. Seorang yang belum pernah memimpin perlu mencoba memengaruhi orang lain. Seorang yang telah memiliki pengaruh harus mencoba membangun tim. Mulai saja dengan hal-hal yang dianggap perlu.
St. Fransiskus dari Assisi berkata, “Mulai mengerjakan apa yang perlu, kemudian lakukan apa yang bisa dikerjakan, dan tiba-tiba saja Anda akan mampu mengerjakan apa yang tidak mungkin Anda kerjakan.” Semua kepemimpinan diawali dari posisi seperti Anda. Napoleon berkata, “Satu-satunya penaklukan permanen dan tidak menyisakan penyesalan adalah penaklukan atas diri sendiri.” Tanggung jawab kecil yang Anda miliki sekarang merupakan penaklukan kepemimpinan besar pertama yang harus Anda lakukan. Jangan pernah mencoba menaklukkan dunia sebelum Anda membereskan hal-hal kecil di dalam diri Anda.

"Apa saja langkah kepemimpinan kecil dan spesifik yang dapat anda ambil hari ini?"

Medan, 8 Februari 2018
Dikutip dari tulisan John C. Maxwell dalam bukunya The Maxwell Daily Reader
Foto diambil dari dewa97.com
Contact Form

Contact Form

2/08/2018 Add Comment
Name Email Address important Content important

Menatap Pemilihan Raya FKG USU

2/07/2018 Add Comment
Tulisan ini adalah tulisan lama. Kala itu saya menulis tulisan ini karena melihat panasnya kontestasi pemilihan raya dikalangan Mahasiswa. Mahasiswa yang masih dalam tahap belajar saya pikir harap maklum jika terbawa emosi dalam berkompetisi. Mungkin memang begitulah karakter anak muda dengan emosi yang belum stabil. Seperti anak kecil yang bertengkar karena rebutan mainan. Mengambil istilah Rhoma Irama "Masa muda adalah masa yang berapi-api". Kiranya tulisan ini masih ada sedikit pelajaran yang bisa diambil untuk menghadapi kontestasi apapun. Kontestasi dari kalangan muda hingga kalangan tua.

bolokajiblog- Kontestasi Pemilihan Raya (PEMIRA) FKG USU pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sedang berlangsung. Semakin mendekati hari pemilihan, hingar bingar pesta demokrasi itu terdengar dimana-mana. Riuh dan gegap gempitanya sangat luar biasa, mengalahkan riuhnya para fans artis yang mengidolakan Aliando, aktor tamvan yang juga berprofesi sebagai penyanyi. Atribut kampanye seperti flyer dan spanduk tertempel disetiap sudut kampus, tak ada sedikitpun yang tidak terjamah. Bukan hanya di dunia nyata, atribut kampanye ini juga sudah merambat sampai kedunia maya. Para pendukung saban hari mengkampanyekan kandidat pilihannya. Mereka yang dulu anti sosial kini punya jiwa sosial yang tinggi, semakin ramah dan bertegur sapa; menjalin komunikasi karena ada maunya untuk mendapatkan suara pada kontestatasi PEMIRA. Mereka yang dulunya tidak aktif dimedia sosial kini menjadi aktif, yang aktif menjadi lebih aktif lagi. Ikhwal ini dilakukan tak lain dan tak bukan hanya untuk berkampanye dan hasrat ingin memenangkan kandidat masing-masing. Tak ayal hasrat ini menghasilkan reaksi negatif dengan munculnya black campaign dimana-dimana. Bukan tidak mungkin black campaign ini juga merusak sekat-sekat pertemanan, menimbulkan perpecahan dan merusak kekompakan diantara mahasiswa. Alhasil kampus bukan lagi sebagai tempat political learning tetapi sudah menjadi tempat politik praktis.
Permasalahan diatas sangat disayangkan terjadi didunia kampus yang notabene-nya berisi para mahasiswa. Mahasiswa yang berfungsi sebagai agent of change harusnya bisa membawa perubahan yang lebih baik. Jika seperti ini perpolitikan yang terjadi di dunia kampus, maka wajar saja perpolitikan di Indonesia selalu menimbulkan suasana yang tidak kondusif karena cikal bakalnya sudah tidak bagus. Menjadi pemenang PEMIRA bukan berarti harus menghalalkan segala cara termasuk melakukan black campaign. Menjelekkan sosok lawan kemudian mengaitkan dengan sisi negatif pendahulunya yang lahir dari rahim yang sama bukanlah sikap dewasa dalam berdemokrasi. Kontestasi PEMIRA harusnya menjadi moment penting dan strategis; menjadi panggung pertunjukan kualitas calon dan juga panggung bagaimana menjaga kekompakkan sesama mahasiswa. Bukan malah menjadi ajang pembusukan satu sama lain karena sudah getol sekali ingin mendapat kekuasaan.
Salah satu penilaian publik terhadap kandidat adalah kualitas diri, visi misi, dan program yang ditawarkan. Pemaparan program rasional dan irrasional menjadi penilaian dalam publik menentukan pilihan. Publik yang cerdas dan rasional akan menilai mana kandidat yang punya kualitas diri yang cerdas dalam memimpin PEMA FKG kedepan. Seorang pemimpin memang dituntut untuk cerdas. Kecerdasan dalam memimpin merupakan sesuatu yang dituntut oleh para anggotanya karena tidak akan ada pengikut yang mau dipimpin oleh pemipin yang tidak cerdas. Cerdas disini bukan hanya sebatas unggul secara intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Kecerdasan intelektual adalah kemampuan manusia dalam memecah masalah, logika, rasio, dan melahirkan gagasan atau ide-ide cemerlang. Dengan kecerdasan intelektual ini para pemimpin mampu merumuskan suatu visi misi dan program yang baik untuk kepentingan bersama. Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami emosi serta kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi ini sangat penting karena dengan komunikasi yang baik seorang pemimpin bisa mempengaruhi anggotanya. Kemampuan berkomunikasi seseorang pemimpin tidak cukup hanya sebatas keanggotanya. Pemimpin juga harus mampu berkomunikasi dengan kalangan muda maupun tua atau merangkul semua golongan sehingga dia bisa menampung aspirasi dari semua pihak dan bisa mengambil keputusan yang menguntungkan. Kecerdasan terakhir yaitu kecerdasan spiritual yang memiliki arti kemampuan seseorang dalam memahami arti hidup. Ikhwal ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Jika pemimpin selalu mengingat Tuhan disetiap aktivitasnya, pastinya pemimpin tersebut akan mengambil keputusan yang terbaik untuk orang banyak. Pada akhirnya jika kandidat memiliki kualitas diri, visi misi, dan program yang jelas pastinya akan menimbulkan ketertarikan dan rasa cinta pada publik. Kemudian rasa cinta itu akan dituangkan dalam bentuk dukungan dan memilih kandidat tersebut.
Seorang pemimpin ibarat nakhoda kapal yang membawa punggawa-punggawa didalamnya. Apakah sebuah kapal akan berlabuh didermaga dengan selamat atau malah tenggelam dilautan dalam itu tergantung bagaimana kelihaian seorang nakhoda tersebut. Jangan memilih pemimpin seperti memilih kucing dalam karung. Memilih pemimpin yang tidak pernah berbuat dan tidak berani memperjuangkan hak hak orang banyak, hanya berani berlindung dibalik tirani demi menyelamatkan diri sendiri. Kelak jika kau dapati pemimpin atau nakhoda seperti itu alamatlah kapal yang kau tumpangi akan tenggelam. Memilihlah dengan cinta yang muncul karena kualitas diri sipemimpin, bukan karena hasutan, paksaan, dan usaha seseorang untuk menjelekkan kandidat lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu memperbaiki kekurangannya dan memperbaiki kekurangan orang lain dengan pengaruh yang dia miliki. Menjelekkan orang lain tidak membuat kita terlihat lebih baik. Ingat... majulah tanpa menyingkirkan, naiklah tinggi tanpa menjatuhkan, berbahagialah tanpa menyakiti orang lain. Jika kau memilih tidak karena cinta dan melawan nuranimu, kelak kau akan merasakan penderitaan yang luar biasa. Cukuplah hayati yang merasakan penderitaan itu seumur hidupnya hingga ia mati, karena fatwa ninik mamaknya yang memintanya untuk menikah dengan Uda Aziz yang lahir dari rahim bangsawan kaya raya yang bersuku, beradat, dan berlembaga. Seandainya pada saat itu Hayati bisa bersikap tegas dengan ninik mamaknya, dia hanya perlu katakan “Mak datuk. Ula kam sangsi. Aku memilih Engku Zainuddin bukan karena suku, adat, dan lembaga tapi karena aku cinta akannya, karena kebaikan, ketulusan, dan kualitas dirinya yang tidak aku temukan pada Uda Aziz.”, jika ia bersikap seperti itu mungkin dia dan rasa cintanya tidak akan pernah tenggelam bersama kapal Van der Wijck.
Medan, 14 Desember 2017
Penulis MY
Foto diambil dari akun instagram kpufkgusu

Sisi Lain “5 Februari” yang Terlupakan

2/06/2018 Add Comment
bolokajiblog- Tanggal 5 Februari bagi sebagian orang yang pernah dan sedang aktif disalah satu organisasi mahasiswa Islam adalah hari yang bersejarah. Pada saat itu, tepat 71 tahun silam lahir organisasi besar bernama Himpunan Mahasiswa Islam atau biasa disebut HMI yang kiprahnya masih ada hingga saat ini. Oleh karena itu tidak salah jika HMI disebut sebagai salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia jika dilihat dari usianya yang sudah tidak muda lagi.  HMI lahir ditengah pergolakan mempertahankan kemerdekaan negara Kesatuan Republik Indonesia dan polarisasi kaum pelajar kearah paham sosialis. Pemprakarsa berdirinya HMI adalah Lafran Pane, Mahasiswa semester I Fakultas Hukum yang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Islam (sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta.  
Pada saat HMI berdiri, sebenarnya sudah ada organisasi kemahasiswaan yaitu Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta. Namun PMY didominasi oleh Partai Sosialis yang berpaham Komunis. PMY cenderung berpihak dan tidak independen dalam memperjuangkan aspirasi Mahasiswa. Oleh sebab itu Lafran Pane berpikir untuk mendirikan organisasi Mahasiswa Islam. Proses pendirian organisasi HMI bukanlah mudah. Lafran pane menghadapi beberapa dinamika sehingga organisasi ini tidak langsung berdiri. Pada bulan November 1946 lafran pane sudah mencoba mengumpulkan para Mahasiswa dan menyampaikan niatannya untuk mendirikan organisasi Mahasiswa Islam namun selalu berujung kegagalan. Suatu ketika Lafran Pane mengadakan rapat mendadak tanpa undangan pada saat mata kuliah Tafsir yang diajarkan oleh Prof Husein Yahya. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan 5 Februari 1947  lafran pane masuk kedalam suatu kelas dan memimpin rapat sambil mengatakan “Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan". Sejak saat itu secara resmi berdirilah organisasi mahasiswa Islam bernama HMI. Mahasiswa yang hadir pada saat itu selain Lafran Pane adalah Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein,  Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali,  Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, dan Baidron Hadi.
Sejak awal HMI terbentuk, HMI sudah bersifat independen dan mempunyai dua tujuan yaitu: 1. Mempertahankan kemerdekaan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, 2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Kedua tujuan ini dari waktu kewaktu,kongres ke konges, berdifusi dalam suatu rumusan menjadi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”  yang tertuang dalam Pasal 4 Anggaran Dasar HMI.  Mengutip dari “tafsir tujuan HMI” bahwa pada hakikatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam pengertian fisik dan kualitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang benar dan efektif. Dasar Motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam juga merupakan tujuan daripada kehidupan manusia yang fitri, yaitu tunduk kepada fitrah kemanusiaannya. Tujuan kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesejahteraan materil dan kesejahteraan spirituil. Kesejahteraan yang akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Dalam amal kemanusiaan inilah manusia akan dapatkan kebahagian dan kehidupan yang sebaik-baiknya. Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana kita rumuskan dengan “kehidupan yang adil dan makmur”.
Berbicara tentang HMI sangat erat kaitannya dengan Lafran Pane. Lafran Pane yang menggagas berdirinya HMI menolak untuk disebut sebagai satu-satunya pendiri HMI. Begitu rendah hatinya sosok beliau hingga tidak mau diakui sebagai satu-satunya pendiri HMI. Lafran Pane lahir dikota Sipirok pada tanggal 23 April 1923 dalam catatan resmi yang kerap beliau gunakan. Namun ada banyak hal yang kita tidak ketahui dari lahirnya Lafran Pane.  Sebenarnya Lafran Pane lahir pada tanggal 5 Februari 1922. Hal ini diungkapkan oleh anak beliau sebelum jenazah beliau dimakamkan yang wafat pada tanggal 25 januari 1991. Beliau sengaja mengubah tanggal lahirnya supaya tidak menimbulkan tafsiran buruk terhadap tanggal berdirinya HMI dan tanggal lahir beliau.  Lafran pane dikenal sebagai sosok yang keras, tegas dan bersahaja. Jenjang pendidikannya tidak menentu, beliau sering berpindah-pindah karena pada saat itu dalam situasi perang. Beliau pernah menempuh pendidikan di Taman Siswa Medan namun dikeluarkan hingga beliau hidup dijalanan. Dijalanan beliau harus berusaha keras menjalani hidupnya dari menjual es lilin, menjual karcis, hingga bermain kartu untuk menyambung hidupnya. Singkat cerita ditahun 1943 beliau hijrah ke Batavia dan melanjutkan kuliah di STI Yogyakarta hingga berdirinya HMI.
Kebersehajaan Lafran Pane terlihat ketika beliau menyerahkan jabatannya sebagai ketua umum HMI yang masih 6 bulan dijabatnya. Beliau tidak mau dianggap terlalu mendominasi di HMI. Dilain hal pernah beliau mengatakan bahwa honor yang didapatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI terlalu besar. Ketika ada rapat-rapat keluar kota sebagai DPA, beliau tidak mau menginap di hotel hotel mewah. Bahkan beliau selalu menggunakan sepeda ketika menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik. Ada sebuah kisah lucu pada saat kongres ke 8 di Solo tahun 1966. Lafran Pane dilarang masuk oleh panitia karena tidak ada identitas dan tanda pengenal. Kejadian serupa juga dialami Lafran Pane pada Konferensi HMI Cabang Yogyakarta ke-27 tahun 1974, Lafran Pane dicurigai sebagai mata-mata militer. Hingga akhirnya ada kader HMI yang mengenalnya dan beliau dipersilahkan masuk. Lafran pane tidak marah apalagi tersinggung sebagaimana umumnya budaya senioritas dalam berorganisasi. Begitulah rendah hatinya sosok Lafran Pane. Orang yang merelakan jabatannya demi kemajuan. Orang yang tidak ingin terlalu menonjol dan tidak haus kekuasaan. Orang yang tidak gila harta dan selalu hidup dalam kesederhanaan. Demikianlah seharusnya kader-kader HMI, jangan hanya menjadikannya sebagai Pahlawan Nasional dalam ucapan namun juga harus mengamalkan sosok teladan dari diri beliau.
Menilik dari usia HMI yang sudah tidak lagi muda, semestinya sudah banyak lahir kader-kader HMI yang memperjuangkan tujuan HMI yang mulia tersebut. Lantas sudah sejauh manakah kita sebagai kader memperjuangkannya, memperjuangkan apa yang dicita-citakan lafran Pane. Saya sendiri masih jauh dari rumusan tujuan yang mengandung “lima kualitas insan cita” tersebut. Saya masih tertatih tatih dalam akademis, minim dalam menciptakan suatu karya, masih mengeluh dalam mengabdi, dan sering turun naik dalam mengamalkan ajaran Islam, dan bahkan sering lalai dalam menjalankan tanggung jawab sebagai makhluk sosial. Dan satu hal yang pasti, kader yang lahir dari rahim HMI banyak jenisnya. Dari guru ngaji hingga guru besar, pedagang kecil hingga pengusaha sukses, penggiat anti korupsi hingga koruptor,  bejat hingga taat, pendosa hingga yang mengerjakan banyak pahala. Jangan-jangan banyaknya kader HMI yang lahir hanya seperti buih dilautan. Berkumpul tapi tidak berhimpun dalam barisan yang kokoh. Kalau begitu pantaskah kita disebut sebagai kader? Menjadi sekelompok orang yang terorganisasir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar? Mungkin banyak dari kita yang tidak paham apa itu kader. Menjalankan fungsinya hanya untuk kepentingan individu dan kelompoknya. Wajar saja jika terjadi kemunduran ditubuh HMI. Akhir kata, Lafran Pane memang sudah wafat dan mendahului kita, namun cita-citanya harus tetap kita perjuangkan. Jangan sampai HMI ini wafat dan menyusul Lafran Pane dengan cita-cita yang belum tercapai namun kita masih tetap hidup dengan merugi.



Medan, 06 Februari 2018.
Penulis MY

Foto diambil dari tintamuncrat.blogspot.co.id

Perang dan Perebutan Kekuasaan

2/06/2018 Add Comment
bolokajiblog- Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi. Begitulah pandangan Ramlan Surbakti mengenai istilah kekuasaan. Miriam Budiarjo menjelaskan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Patricia membagi unsur kekuasaan ada tiga yaitu tujuan, cara, dan hasil. Kekuasaan dapat digunakan dengan cara baik dan cara yang tidak baik. Jika pemegang kekuasaan mempunyai tujuan yang baik maka cara yang digunakan tentunya juga baik, begitu juga sebaliknya. Benar yang dikatakan para motivator bahwa “berpikir positif akan melahirkan kebiasaan-kebiasaan positif”. Unsur kekuasaan yang terakhir adalah hasil. Hasil ini sangat berpengaruh dari pemegang kuasa dan orang yang dikuasai. Semakin baik pemegang kuasa dan orang yang dikuasai maka hasilnya juga tentu semakin baik. Kekuasaan dapat diperoleh dengan berbagai cara yaitu pertama dipilih melalui kesepakatan bersama, kedua si pemegang kuasa memilih penerusnya, ketiga dipilih melalui dewan khusus, dan keempat dengan cara pemberontakan. Dalam sejarah Islam (Sejarah Peradaban Islam, Syamruddin) tercatat ketika Rasulullah wafat maka kekuasaan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Ada perbedaan pendapat mengenai kelanjutan kekuasaan ini. Kaum Anshor dan kaum Muhajirin berbeda pendapat siapa pengganti Rasul, sementara Ahlul Bait berpendapat bahwa Rasul telah menunjuk Ali sebagai khalifah pengganti Rasul. Menurut catatan sejarah Abu Bakar dipilih secara musyawarah tanpa dukungan dari Ali dienam bulan pertama kekuasaanya. Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebelum beliau wafat. Utsman terpilih melalui dewan khusus “Panitia Enam” yang dibentuk oleh Umar. Pada saat Utsman memegang tampuk kekuasan, ada desakan dari pemberontak supaya Utsman mundur. Pemberontak menyerbu kediaman Utsman dan pada akhirnya Usman terbunuh. Pasca Utsman terbunuh pemberontak mendesak Ali supaya menggantikan posisi Utsman namun Ali menolak desakan tersebut. Kemudian pemberontak meminta Sa’at bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Auf untuk menjadi pengganti Utsman namun ditolak oleh keduanya. Kaum pemberontak kembali meminta Ali untuk menjadi khalifah dan akhirnya Ali menerima dengan syarat diberi kesempatan untuk memerintah sesuai Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perseteruan politik untuk memperebutkan kekuasaan hadir dengan banyak dinamika yang berbeda-beda. Salah satu dinamika yang terjadi untuk memperebutkan kekuasaan adalah perang. Sejarah kelam Islam tercatat pernah terjadi perang saudara pada saat Ali memegang kekuasaan, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ikhwal ini terjadi lantaran meninggalnya Utsman ditangan para pemberontak. Aisyah dan pasukannya menentang Ali karena menginginkan Abdullah bin Zubeir diangkat menjadi khalifah. Abdullah bin Zubeir mencoba memperalat Aisyah untuk mewujudkan ambisinya yang ternyata juga ingin menjadi khalifah. Akhirnya Aisyah dan pasukkannya sebanyak 20.000 orang melakukan perjalanan untuk memerangi Ali yang memiliki pasukan sebanyak 10.000 orang. Ketika dua pasukan bertemu sempat terjadi negosiasi antara pasukan Ali dan Aisyah hingga keduanya sepakat untuk berdamai. Namun dipasukan Ali ada pengkhianat pengikut Abdullah bin Saba’ yang tidak suka dengan perdamaian ini. Tanpa sepengatahuan Ali, pengikut ini memancing keributan dan akhirnya terjadi perang saudara pertama kali dalam sejarah umat Islam yang disebut dengan Perang Jamal. Pada perang ini kemenangan ada di pihak Ali. Dinamika lain pada saat Ali menjadi khalifah adalah konflik yang berkepanjangan dengan Muawiyah. Muawiyah dapat dikatakan masih satu keturunan dengan Utsman sehingga berpikir bahwa merekalah yang berhak menuntut atas terbunuhnya Utsman, bukan Aisyah. Muawiyah dan pengikutnya menuduh Ali terlibat dalam peristiwa wafatnya Utsman. Mereka meminta pertanggungjawaban atas peristiwa itu. Namun Ali tidak memenuhi permintaan tersebut sehingga Muawiyah menolak atas kekhalifahan Ali. Ali berpendapat bahwa Muawiyah sebagai pembangkang. Akhirnya Ali mengutus pasukan sebanyak 50.000 orang untuk memerangi 80.000 orang pasukan Muawiyah. Ketika kedua pasukan bertemu disuatu tempat bernama Shiffin, untuk kedua kalinya Ali berkeinginan untuk tidak terjadi perperangan dan meminta Muawiyah mengakuinya sebagai khalifah. Namun Muawiyah menolak itu semua sehingga terjadi peperangan yang menelan korban sebanyak 70.000 orang. Menilik sejarah yang terjadi bahwasanya perebutan kekuasaan banyak melahirkan perang-perang yang menelan banyak korban. Ketika Belanda dan Jepang mencoba menguasai Nusantara juga begitu. Bahkan konon, runtuhnya Kerajaan Majapahit juga dikarenakan terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Jika dikaitkan dengan kondisi masa kini, apakah perang fisik masih terjadi. Hemat saya masih terjadi seperti dibeberapa Negara timur Tengah. Tp tahukah kita bahwasanya ada yang lebih bahaya dari perang fisik? Jawabannya ada yaitu perang pemikiran. Perang pemikiran ini muncul dari luar yang tidak ingin “kita” bersatu. Sejatinya kita merasakan bahwa kita tidak berada dipeperangan, namun faktanya pemikiran kita sebenarnya sedang diperangi. Salah satu tujuannya adalah membuat dan membentuk sekat-sekat atau kelompok-kelompok sehingga kita terpecah belah. Seorang senior pernah berkata kepada saya "Jika ingin melihat karakter seseorang, beri dia kekuasaan". Baru beberapa hari ini saya tau kalau itu adalah kutipan dari perkataan Abraham Lincoln. Kalau saya lebih sepakat sebenarnya jika kalimat itu diganti menjadi "Jika ingin melihat karakter seseorang, lihat bagaimana ketika dia mengejar kekuasaan". Mengejar kekuasaan bisa jadi memperjuangkan dirinya sendiri atau kepentingan kelompok nya sehingga kemungkinan memunculkan gesekan satu sama lain. Lantas apa kita mau terus-terusan seperti ini? Saya teringat dengan seorang lelaki tua yang pernah saya temui. Kali pertama saya bertemu dengan lelaki tua itu di Mesjid Al-Amin jalan HM Yamin. Kala itu saya masih bersekolah di MAN 2 Model Medan sekitar tahun 2010/2011. Lelaki tua itu mengatakan dirinya profesor gadungan dan telah banyak menemukan temuan temuan baru. Namun hasil temuannya itu dibajak oleh orang yang iri akan kemampuannya, hingga akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya disiksa dan ada upaya untuk merusak pikirannya hingga dia dianggap gila. Secara fisik memang tampilan lelaki tua itu seperti orang yang tidak waras, sekasar-kasarnya gila. Namun saya sempat terkagum-kagum dengan kemampuan berhitungnya yang bisa berhitung dengan cepat tanpa menggunakan kalkulator. Lelaki tua itu bisa dengan tepat menebak plat kendaraan hasil perkalian berapa dengan berapa. Contohnya jika plat kendaraan tersebut 6012 maka beliau dengan sangat tepat dan cepat tau bahwa 6012 adalah perkalian dari 2x2x3x3x167. Bahkan beliau mampu mengalikan angka 4 digit dengan 4 digit secara tepat dan cepat juga. Dilain waktu saya berkesempatan bertemu lagi dengan beliau di Mushola FKG dan bahkan beberapa hari lalu saya bertemu di perempatan lampu merah simpang kampus USU. Beliau memberikan saya selembar kertas yang selalu dibawanya kemana-mana sambil mengatakan “ini rintihan saya”. Isi kertas itu berupa tulisan yang diketik dengan tambahan tulisan tangan yang membahas peperangan yang terjadi dibeberapa Negara belahan dunia. Ada satu kalimat yang buat saya terkesima, beliau menuliskan “peperangan itu menghabiskan biaya yang besar dan memakan banyak korban. Lebih baik biaya perang itu digunakan untuk membantu negara miskin di Afrika dll”. Lagi-lagi saya harus terkagum dengan pikirannya. Lelaki tua yang mengatakan dirinya profesor gadungan, secara fisik seperti orang gila namun memiliki pikiran yang sehat dan cinta akan kedamaian. Lantas kita yang secara fisik berpenampilan sehat dan waras kenapa berpikir tidak sehat dan gila akan kekuasaan? Bukankah hidup tanpa sekat sekat itu jauh lebih indah. Saya pikir Perjuangan Islam tidak akan tegak tanpa adanya Ukhuwah Islamiyah, konon lagi berbicara Ukhuwah Insaniyah. Medan, 1 Februari 2018
Penulis MY Foto diambi dari sejarahislamarab.blogspot.com

Senior

2/06/2018 Add Comment
bolokajiblog- Kemarin pagi disela-sela aktivitas, saya menyempatkan diri untuk membuka akun FB saya dari laptop. Keterbatasan telepon genggam membuat saya dalam beberapa hari ini harus menggunakan laptop untuk berkoneksi dengan dunia maya. Ketika akun FB tersebut saya buka, ada masuk pemberitahuan dari beberapa teman FB termasuk postingan yang ditandai kesaya oleh pendahulu saya dikampus dan diorganisasi tempat saya berkecimpung. Isi postingan itu sederhana dan membahas tentang “Senior”. Beranjak dari postingan tersebut muncul pertanyaan apa indikator seseorang disebut senior? Senior karena usiakah atau karena kualitas? Didalam himpunan ada istilah “Senior Course”, apa maksud  dari kata senior tersebut? Dari postingan sederhana tersebut muncul beberpa pertanyaan yang menuntut kita untuk berpikir.
Didalam hidup ini memang kita selalu dituntut untuk berpikir. Dengan berpikir maka akan muncul banyak pertanyaan. Dengan adanya pertanyaan maka muncul usaha untuk mencari pengetahuan. Dan dengan pengetahuan tersebut kita tahu letak suatu kebenaran. Mungkin kira-kira begitulah alur berpikir dari sedikit buku pengantar filsafat yang pernah saya baca. Kalau kata Tan Malaka didalam bukunya Madilog, titik kalau ditarik terus akan menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang, dan bidang yang ditarik terus akan menjadi badan. Artinya untuk menjawab suatu pertanyaan yang muncul dari pikiran itu butuh waktu dan proses. Untuk itu saya akan coba mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.
Kata senior menurut KBBI artinya : 1. Orang yang tinggi dalam jabatan, 2. Lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan, 3. Berada dalam tingkat sarjana bagi mahasiswa dan kelas terakhir bagi pelajar SMU dan SLTP, 4. Lebih tua dalam usia. Lawan kata dari senior adalah junior. Defenisi dari junior menurut KBBI sebagai berikut : 1. lebih muda, khususnya antara dua orang bersaudara (kakak beradik) atau antara bapak dan anak yang mempunyai nama akhir sama, 2.Berpangkat atau berkedudukan lebih rendah, lebih muda keanggotaannya. Dari definisi tersebut sebenarnya sudah terjawab apa indikator seseorang disebut senior. Seseorang bisa dikatakan senior jika lebih tua secara usia, tinggi secara jabatan dan tingkatan, atau lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan. Tinggal sebenarnya kita mau memilih senior dari pendekatan apa. Saya sendiri lebih suka dengan pendekatan yang terakhir, dianggap senior karena lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan. Lantas mereka yang tak punya kualitas bagaimana? Saya pikir setiap orang punya kelebihan masing-masing. Jika pun mereka punya kualitas tak mumpuni dalam bidang tertentu ya tetap juga disebut senior jika dilihat dari sisi usia.
Beralih kepertanyaan selanjutnya mengenai Senior Course (SC) dalam himpunan. Apa maksud senior dalam istilah himpunan?. Senior Course jika diterjemahkan kedalam bahasa indonesia artinya kursus senior. Didalam konstitusi himpunan yang berisi AD/ART dan beberapa pedoman, kata senior pertama kali disebutkan pada pasal 49 ART tentang Badan Pengelola Latihan (BPL). BPL adalah lembaga yang mengelola aktivitas pelatihan dilingkunan himpunan. Pengurus BPL adalah anggota biasa yang sudah mengikuti SC. Mereka yang sudah mengikuti SC dan mengelola pelatihan disebut instruktur. Seorang Instruktur dituntut untuk menjadi uswah dari sisi apapun. Untuk tau lebih lanjut mengenai BPL, SC, atau Instruktur saya pikir bisa dibaca dipedoman BPL himpunan. Karena jika dibahas disini terlalu panjang. Jadi penyebutan senior didalam konstitusi himpunan hanya merujuk kepada mereka yang sudah mengikuti Senior Course. Saya sendiri tidak mau menyempitkan istilah itu hanya sebatas jenjang Training. Saya lebih suka pendekatan bahwa setiap orang harus meng-upgrade kualitas dirinya tanpa peduli usianya masih muda dan jabatannya rendah hingga dia layak disebut senior bukan karena usia tapi karena kualitasnya. Karena sejatinya senior secara usia itu pasti dan senior karena kualitas itu pilihan.
Lantas bagaimana kita beretika dalam hubungan junior-senior. Terlepas seseorang itu disebut senior karena usia, jabatan, atau kualitas. Intinya tetap harus saling menghargai. Sesuai sabda Rasul "Bukan termasuk dari kami seseorang yang tidak menyayangi yang kecil dan tidak memuliakan yang besar".

Medan, 23 Januari 2018
Penulis MY

Foto diambil dari thetomatos.com